Ketua MUI Jelaskan Lahirnya Sikap Keagamaan

id SIDANG AHOK

Ketua MUI Jelaskan Lahirnya Sikap Keagamaan

Gubenur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersiap menjalani persidangan lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (3/1). Ahok menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi. (ANTARA FOTO/POOL/Irwan Rismawan)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Sirra Prayuna, anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menilai pemanggilan Ketua MUI Ma'ruf Amin dalam sidang lanjutan Ahok akan lebih memberikan penjelasan soal proses lahirnya sikap dan pendapat keagamaan MUI soal penodaan agama oleh Ahok.

"Tetapi yang lebih penting sesungguhnya apakah sebelum sikap dan pendapat keagamaan ini diterbitkan, MUI itu telah mengeluarkan fatwa atau tidak terkait dengan Surat Al-Maidah yang menyatakan haram hukumnya masyarakat memilih pemimpin non-muslim," kata Sirra di Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.

Menurut Sirra, seharusnya MUI terlebih dahulu mengeluarkan fatwa yang menyatakan haram hukumnya masyarakat memilih pemimpin non-muslim itu.

"Nah itu yang saya sebut sebagai sebuah proses jump into conclusion atau kesimpulan yang melompat harusnya ditetapkan dahulu, nah saya kira proses itu tidak dilalui oleh MUI," ucap Sirra.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri akan menghadirkan lima saksi dalam sidang kedelapan Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.

Lima saksi itu antara lain dua saksi dari nelayan di Pulang Panggang, Kepulauan Seribu, yaitu Jaenudin alias Panel bin Adim dan Sahbudin alias Deni. Selanjutnya Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin dan Komisioner KPU DKI Jakarta, Dahlia Umar. Satu saksi lagi yaitu Ibnu Baskoro sebagai saksi pelapor.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (*)