Pengamat : Praktik Ekonomi Kapitalis Hancurkan Perajin Songket

id Praktik

Sawahlunto, (Antara Sumbar) - Ketua Forum Pemerhati Perajin dan Pengusaha Songket Silungkang Sawahlunto (FP3S3) Provinsi Sumatera Barat Fidel Arifin menyatakan praktik ekonomi kapitalis telah menghancurkan para perajin songket daerah ini.

"Kondisi tersebut pernah dialami para petenun dan pedagang songket Silungkang pada 1990, dan akibatnya masih terasa hingga saat ini," kata dia, di Sawahlunto, Sabtu.

Dia mengungkapkan, produksi kain songket di daerah itu sempat mengalami masa kejayaan pada era 60-an hingga 90-an dan berakhir setelah songket Silungkang diproduksi secara massal menggunakan teknologi alat tenun mesin yang dipusatkan di Majalaya, Jawa Barat.

Sejak saat itu, lanjutnya, pamor songket sebagai sebuah karya seni budaya terus menurun dan nyaris mematikan usaha perajin yang tetap menggunakan alat tenun bukan mesin hingga saat ini.

Menurutnya, kondisi usaha yang tidak mampu lagi menyangga kebutuhan hidup penenun songket tersebut, memicu lemah gairah masyarakat untuk tetap melanjutkan tradisi turun temurun tersebut dan nyaris menghilang dari peradaban nusantara.

"Sejak dua tahun belakangan ini pemerintah daerah berupaya membangkitkan kembali semangat bertenun songket melalui pelatihan dan kegiatan-kegiatan promosi yang cukup gencar dilakukan baik di dalam maupun luar negeri," katanya lagi.

Terkait adanya wacana untuk memperjuangkan songket sebagai pakaian nasional, menurutnya, hal itu patut diapresiasi dan didorong oleh seluruh pemangku kepentingan di setiap tingkatan pemerintahan beserta seluruh masyarakat.

Karena, lanjutnya, bagi masyarakat Silungkang sendiri ada nilai sejarah yang melekat hingga saat ini terkait perjuangan untuk mempertahankan budaya lokal itu, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

"Salah satunya peristiwa pemberontakan rakyat Silungkang pada 1927 yang pada intinya adalah bentuk penolakan terhadap monopoli perdagangan kain batik dan tenun oleh penjajah Belanda," ujar dia pula.

Pada masa penjajahan Jepang, katanya lagi, perjuangan untuk tetap melestarikan budaya bertenun yang sudah menjadi kearifan lokal masyarakat setempat kembali mengalami tantangan hebat dengan adanya embargo bahan baku benang pada masa diterapkan sistem kerja paksa pada periode Perang Dunia II.

Saat itu perajin mendapatkan benang dengan menyelundupkannya dari beberapa negara tetangga rumpun melayu, seperti Singapura dan Malaysia.

"Catatan sejarah itu cukup menguatkan bagaimana praktik ekonomi kapitalis yang disertai propaganda yang memuat misi politisasi masyarakat tidak akan memberi efek positif bagi perkembangan budaya dan perekonomian perajin," ujarnya lagi.

Terkait upaya yang dilakukan negara lain penghasil kain tenun, Konsulat Kedutaan Besar Laos untuk Indonesia, Phomma, dia mengatakan keberadaan tenun songket sangat dilindungi tidak hanya secara adat istiadat yang berlaku, tapi juga dilakukan dengan memberlakukan regulasi yang mengatur kewajiban mengenakan pakaian hasil produksi perajin di negara itu pada setiap kesempatan.

"Harga yang ditetapkan juga cukup tinggi, yakni Rp800 ribu per lembar untuk kualitas kain songket paling rendah," kata dia lagi. (*)