BBS, Desa Berprestasi Nasional yang Kini Tak Dikenal

id Desa Balai Batu Sandaran

BBS, Desa Berprestasi Nasional yang Kini Tak Dikenal

Gerbang Kawasan Agrowisata Pertanian Atsiri di Desa Balai Batu Sandaran (BBS) Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, yang kini terlihat lusuh seiring menurunnya minat terhadap budidaya tanaman jenis Atsiri meskipun sempat menjadi percontohan nasional. FOTO antarasumbar.com (Rully Firmansyah)

Desa Balai Batu Sandaran (BBS) merupakan sebuah kawasan permukiman penduduk yang berada di ketinggian kawasan perbukitan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, yang masyarakatnya sebagian besar menyandarkan hidupnya dengan bercocok tanam.

Kondisi topografi wilayah yang berbukit, tentu bisa dibayangkan bagaimana terbatasnya ruang gerak mereka dalam bertani dengan kondisi lahan kritis, curam serta sistem irigasi yang minim mengakibatkan masyarakat petani setempat sulit mengakses sumber - sumber air untuk mengairi lahan pertanian di desa berpenduduk sekitar seribu jiwa lebih itu.

Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, Nusirwan S Sos, satu - satunya yang mereka bisa banggakan adalah bentangan alam khas pegunungan yang indah dipandang mata, namun hal itu belum lah cukup untuk menyejahterakan masyarakat disebuah kota yang pada mulanya dikenal sebagai kawasan pertambangan dari masa penjajahan Belanda pada 1888 Masehi hingga bertransformasi menjadi kota wisata pada 2001.

"Kala itu kami dengan beberapa tokoh masyarakat lainnya berpikir bagaimana memanfaatkan lahan kritis menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis sekaligus menjadi unggulan dalam menopang kehidupan masyarakat," kata dia, di Sawahlunto, Senin(9/5).

Dari kesepakatan mereka, pilihan pun jatuh pada budidaya tanaman atsiri karena dinilai cocok dengan struktur iklim dan lahan desa itu serta nilai ekonomisnya yang diperkirakan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi kota itu.

Upaya budidaya pun dimulai dan sebagian besar didominasi oleh tanaman atsiri jenis serai wangi yang diketahui sudah tumbuh liar di beberapa punggung bukit desa itu, salah satunya dengan mencoba melakukan penyulingan dengan tekhnologi sederhana dari swadaya masyarakat setempat.

"Usaha yang dilakukan itu cukup membuahkan hasil dimana hasil produksi minyak serai wangi hasil penyulingan masyarakat mulai diminati pasar sejak mulai dibudidayakan pada masa pemerintahan walikota Drs H Rahmatsjah (1988 - 1993)," jelasnya.

Setelah diterbitkannya visi kota wisata tambang yang berbudaya sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2001 itu, arah pengembangan pun mulai dilebarkan dengan memproyeksikan budidaya tanaman atsiri desa ini menjadi salah satu daerah tujuan wisata agro.

Konsep tersebut semakin dipertajam pada masa pemerintahan walikota Amran Nur yang menjabat sejak 2003 hingga 2013, penajaman itu telah menjadikan Desa Balai Batu Sandaran semakin dikenal sebagai daerah penghasil serai wangi terbaik dengan segala penghargaan dan apresiasi yang diterima dari pihak - pihak terkait di segala tingkatan pemerintahan.

"Kala itu 80 persen kepala keluarga desa ini terlibat dalam usaha pertanian Atsiri dengan luasan lahan serai wangi mencapai 81 hektar dan nilam sekitar 24 hektare yang hasil panennya diolah pada 3 unit alat suling kelompok dan 2 unit alat suling perorangan skala rumah tangga, dengan total omzet mencapai ratusan juta rupiah," kata dia.

Menurutnya, mutu yang dihasilkan sudah diatas Standar Nasional Indonesia (SNI) berdasarkan hasil uji laboratorium Puslitbang Bogor, yakni kandungan zat Citronelal sebesar 47,9 persen dan kandungan Graniol mencapai 95,5 persen untuk satu kilogram minyak yang dihasilkan.

Sementara untuk SNI kandungan tersebut masing - masing hanya 35 persen dan 80 persen, dengan kata lain potensi tersebut sangat layak untuk dikembangkan sebagai salah satu industri unggulan di kota itu.

Seiring pergantian kepemimpinan di kota itu, saat ini puluhan hektare lahan budidaya tanaman serai wangi di Kota Sawahlunto saat ini terlantar meski sempat menjadi proyek percontohan budidaya tanaman atsiri nasional pada 2012.

"Lahan yang tersisa hanya berkisar 10 persen saja dari total areal budidaya seluas 50 hektare lebih, dengan kondisi tanaman sudah harus diremajakan kembali," katanya.

Menurunnya minat masyarakat untuk terus mengembangkan budidaya tanaman serai wangi, salah satunya dipicu oleh ketidakjelian pihak pemerintah setempat di era pemerintahan Ali yusuf - Ismed dalam menumbuhkan semangat kewirausahaan para petani Atsiri di kota itu.

Menanggapi kondisi tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal setempat, Edy Suharto, mengatakan sejak 2015 pihaknya telah mencoba menawarkan potensi tersebut secara terbuka kepada para pemodal.

"Pemodal bisa bekerjasama langsung dengan kelompok tani budidaya tanaman tersebut, disamping ketersediaan lahan industri pengolahannya juga sudah dilengkapi dengan alat penyulingan sebanyak dua unit yang diperoleh dari bantuan pemerintah pusat," jelas dia.

Bentuk kerjasama yang ditawarkan pihaknya antara lain kerjasama modal kerja untuk pembelian bibit, upah tenaga kerja serta pemasaran dalam dan luar daerah Kota Sawahlunto.

"Selain itu kerjasama pengembangan lahan juga masih terbuka dengan luas areal cadangan 30 hektare milik masyarakat setempat," kata dia.

Pantauan Antara, kawasan Agrowisata Pertanian Atsiri percontohan nasional itu hanya menyisakan hamparan semak belukar serta bangunan - bangunan tempat penyulingan bantuan pemerintah pusat yang tidak termanfaatkan maksimal, ditengah keindahan pemandangan alam perbukitan yang hijau dan asri dengan jalan berliku dan berjurang terjal berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya, Sawahlunto. ***