"Virus Trojan" Disisipkan Dalam Revisi UU KPK

id Revisi UU KPK

Jakarta, 13/2 (Antara) - Apakah ada semacam "Virus Trojan" yang telah dimasukkan dalam agenda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Bukanlah suatu pertanyaan menghakimi, melainkan itu adalah polemik dalam hal tarik ulur revisi UU KPK yang berkembang di tengah masyarakat dan pengamat yang peduli terhadap KPK serta menduga ada gerakan pelemahan KPK.

Virus Trojan yang dimaksud tentu saja sebuah analogi konotasi negatif terhadap agenda tersebut. Seperti diketahui "Virus Trojan" adalah program berbahaya yang menyisip pada perangkat lunak komputer.

Program ini dapat merusak seluruh data hingga hilang tidak berbekas, bahkan mematikan kinerja sistem komputer untuk tidak dapat bekerja secara maksimal.

Karakter Trojan bergerak secara tersembunyi melalui pintu belakang sistem komputer dan tidak terdeteksi sehingga leluasa untuk melakukan tindakan "jahat"-nya.

Biasanya tujuan Trojan adalah untuk dapat bercokol dalam sistem komputer yang telah terinfeksi guna melakukan aktivitasnya, seperti mencuri data, melakukan penguncian otomatis data, dan terkadang bisa melakukan perintah kepada komputer layaknya "zombi", hidup (menyala) namun tidak bisa apa-apa.

Analogi tersebut layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebuah komputer yang kuat. Namun, terancam Virus Trojan yang bernama revisi UU KPK. Usulan revisi undang-undang di Indonesia, khususnya UU No. 30/2002 salah kaprah. Pendapat tersebut disampaikan oleh pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho.

Ia mengatakan bahwa yang menginginkan perubahan atau revisi UU KPK justru pihak luar, yakni parlemen. Saat ini, menurut dia, apa urgensinya, kepentingan, dan motif parlemen sehingga menginginkan revisi UU KPK tersebut.

"Setelah berlanjut, ternyata materinya itu mengubah kewenangan KPK yang justru jantungnya, seperti penyadapan, pengawasan, dan penyidik. Dari rumusan yang ada ini, kita sebetulnya tidak percaya kepada parlemen," katanya.

Bahkan, kata dia, Presiden RI Joko Widodo menyatakan jika nantinya revisi UU KPK melebar ke mana-mana akan disetop, berarti kekhawatiran itu ada. Oleh karena itu, lanjut dia, daripada pembahasannya berlarut-larut lebih baik revisi UU KPK dihentikan.

"KPK itu dibentuk pada suatu kondisi yang 'extraordinary', semuanya mempunyai kapabilitas, semuanya sudah mempunyai sistem. Jadi, Badan Pengawas ini akhirnya menjadikan KPK sebagai komisi yang tidak independen karena diawasi," katanya.

Seakan menjawab dari dugaan Hibnu Nugroho, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago menilai revisi UU KPK bisa saja merugikan partai penguasa secara politik.

Menurut Pangi, jika publik memandang revisi hanya akan memperlemah fungsi KPK, partai penguasa bisa mendapat stigma negatif. "Partai penguasa rentan dan rawan terjerat kasus korupsi. PDIP (selaku partai pemenang pemilu) bisa dianggap punya kepentingan terhadap revisi UU KPK," kata Pangi.

Pangi mengatakan bahwa kala Partai Demokrat berkuasa sejumlah kadernya terjerat kasus korupsi. Maka, revisi UU yang mengarah pada pelemahan KPK, menurut dia, akan memicu persepsi publik bahwa partai penguasa tidak ingin bernasib seperti Demokrat.

"Karena PDIP sadar dan tahu betul nasibnya bisa sama dengan Partai Demokrat ketika berkuasa. Mengapa 'ngotot' revisi, kan pasti ada maunya," katanya.

Revisi UU KPK tengah bergulir di DPR RI. Salah satu poin revisi adalah pembentukan Dewan Pengawas oleh Presiden guna memastikan kerja KPK sesuai dengan aturan.

Antivirus

Sesuai dengan pepatah bahwa tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya, Virus Trojan pun memiliki penangkal yang disebut antivirus. KPK pun diharapkan telah terpasang antivirus untuk menangkal tindakan pelemahan-pelemahan, termasuk revisi UU.

Kali ini peran itu diharapkan berasal dari pemimpin negara. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa revisi UU KPK harus bertujuan memperkuat lembaga antikorupsi itu.

"Akan tetapi, perlu saya sampaikan bahwa revisi UU KPK harus memperkuat KPK," kata Presiden.

Mengenai usulan penyadapan oleh KPK yang harus mendapatkan izin dari pengawasan KPK, Jokowi mengatakan bahwa hal itu merupakan usulan dari DPR.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa poin-poin revisi UU KPK tidak perlu dikhawatirkan.

"Saya pikir itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan, contohnya soal pengawasan, kenapa harus khawatir kalau KPK ada pengawasnya?" kata Wapres Kalla.

Tidak hanya petinggi negara, masyarakat juga berusaha untuk menolak revisi tersebut. Petisi daring di laman change.org berjudul "Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK" yang dimulai oleh sejumlah pegiat antikorupsi, telah mendapat dukungan dari 58.477 pendukung (sampai Sabtu, 13/2 pukul 02.00 WIB).

"Langkah yang dilakukan KPK tidak disukai oleh koruptor dan para pendukungnya. Oleh karena itu, mereka terus melakukan berbagai cara untuk membunuh dan melemahkan KPK," kata Suryo Bagus, pemulai petisi daring tersebut.

Petisi tersebut menolak rencana DPR dan pemerintah yang akan merevisi UU KPK karena akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Menurut petisi tersebut, harapan untuk Indonesia yang bersih dan bebas korupsi selama ini terjaga dengan adanya KPK.

Revisi UU KPK diusulkan oleh enam dari 10 fraksi di DPR RI, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi NasDem, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Hanura, dan Fraksi PKB menjadi polemik yang memancing pendapat berbagai kalangan.

Empat hal yang rencananya akan direvisi oleh DPR RI, yaitu soal penyadapan pada Pasal 12A yang menyatakan bahwa penyadapan dapat dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis Dewan Pengawas (Ayat 1).

Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan (Ayat 2), dan penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama (Ayat 3).

Kedua, soal Dewan Pengawas yang diatur dalam Pasal 37 yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenangn KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa ada dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala dalam 1 tahun, dan menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran tertentu dalam UU.

Ketiga, soal pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK (pada Pasal 43 dan Pasal 45).

Keempat, wewenang penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK.

Mungkinkah ada yang menghalangi keleluasaan KPK untuk memberantas korupsi? Atau, apakah untuk "mengamankan" langkah oknum untuk korupsi?.