Walhi: Evaluasi Kembali Izin Pertambangan di Sumbar

id Walhi

Padang, (Antara) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) meminta pemerintah setempat mengevaluasi kembali izin pertambangan di daerah itu karena operasionalnya dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana.

"Belajar dari musibah banjir yang terjadi pada 10 kabupaten dan kota di Sumbar, pemerintah perlu mengevaluasi izin-izin usaha pertambangan dan melakukan moratorium izin baru ke depan," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini di Padang, Rabu.

Menurut dia, kerusakan lingkungan dan bencana ekologis di daerah ini terjadi karena aktivitas tambang di kawasan hutan dan daerah aliran sungai yang sudah berlangsung sejak 2009.

Jika gubernur selaku pemilik kewenangan tidak menjadikan bencana banjir yang terjadi hari ini sebagai pembelajaran maka ke depan Sumbar akan terus dilanda bencana, kata dia.

"Pada musim Hujan akan banjir, di musim kemarau, warga akan kesulitan air," ujarnya

Ia menyebutkan saat ini di Kabupaten Solok Selatan terdapat 22 izin usaha pertambangan, terdiri atas sembilan izin di Kecamatan Sangir Batanghari, empat izin berstatus operasi produksi dan lima berstatus eksplorasi dengan komoditas emas, logam dan galena.

Sementara, di Kecamatan Sungai Pagu terdapat tujuh izin dengan komoditas emas, bijih besi dan logam dasar dengan tiga izin operasi produksi dan empat izin eksplorasi.

Kemudian, di Kecamatan Sangir terdapat satu izin tambang emas dan di Kecamatan Pauh Duo terdapat tiga izin tambang bijih besi dan logam dengan status eksplorasi dengan total wilayah izin usaha pertambangan seluas 31.480 hektare.

Tidak hanya itu, di Kabupaten Solok juga marak aktivitas tambang di Kecamatan Lembah Gumanti dengan 13 izin usaha pertambangan tembaga, kalsit, besi dan bijih besi, lanjut dia.

Dari 13 tersebut, 10 di antaranya telah melakukan kegiatan operasi produksi dan tiga izin berstatus eksplorasi dengan luas wilayah 1.028 hektare, kata dia.

Selain itu, di Kecamatan Lembah Gumanti, aktivitas tambang juga dilakukan sejak 2009 di Nagari Lolo Kecamatan Pantai Cermin dengan 11 izin dan 10 di antaranya sudah beroperasi sejak 2009.

Sedangkan, di Kabupaten Limapuluh Kota, khususnya Kecamatan Pangkalan terjadinya bencana banjir juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan, karena menurunnya kemampuan alam menyerap air hujan akibat perubahan fungsi kawasan yang dulunya hutan menjadi kegiatan usaha pertambangan.

Ia menyebutkan di Kecamatan Pangkalan terdapat 13 Izin Usaha Pertambangan, 11 di antaranya sudah melakukan kegiatan operasi produksi sejak 2009 dengan komoditas utama timah hitam, batu bara dan batuan.

Uslaini menilai aktivitas tambang terbuka yang dilakukan selama lima tahun terakhir dengan membuka kawasan yang dulunya memiliki tutupan vegetasi, memberi pengaruh terhadap kemampuan alam dalam menyerap air hujan dan aliran permukaan.

Ia memaparkan berdasarkan data statistik kehutanan di Sumbar menunjukkan sampai tahun 2013 terdapat 19 Izin Pinjam Pakai kawasan hutan untuk kegiatan operasi produksi tambang dan nontambang seluas 2.805,65 hektare dan untuk tiga izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 15.689,89 hektare untuk kegiatan eksplorasi tambang dan nontambang.

Sementara, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar Pagar Negara mengatakan hingga hari ini longsor masih terjadi pada beberapa titik di Kabupaten Solok.

"Longsor pertama terjadi pada Selasa malam (9/2) sekitar pukul 21.30 WIB di jalan nasional di Pantai Cermin, Kabupaten Solok menimbun badan jalan sepanjang 70 meter dengan ketebalan mencapai 30 meter," katanya.

Kemudian, jalan terban terjadi di kilometer 82, Air Dingin Kabupaten Solok.

"Petugas sedang melakukan pembersihan di lapangan," katanya. (*)