Ada Yusrizal KW di Tanah Ombak

id ombak

Ada Yusrizal KW di Tanah Ombak

Tanah Ombak (c)

Tanah Ombak. Agaknya, begitu rumit menafsirkan atau bisa mungkin multi tafsir. Pada di kuping kita kerap mendengar pasir ombak yang identik dengan pantai. Kalau ini namanya Tanah Ombak, dan lagi biasanya memanglah pasir yang kerap terbawa ombak. Kata orang bijak, apalah arti sebuah nama. Terpenting itu adalah suatu nama yang gampang diingat orang.

Suatu gang sempit dikawasan Purus Pantai, Kota Padang ditemui komunitas Tanah Ombak yang posisi tempat itu berhadap- hadapan dengan Pantai Purus nan kini telah rancak berkat sering bersolek, seumpama anak gadis jolong gadang. Kerancakan Pantai Purus Padang memang belum serancak kehidupan anak-anak yang berdiam dikawasan itu. Terpautlah pandangan ke gang sempit itu dan di atas atap terpajang tulisan Rumah Baca tanah Ombak.

Belasan dan bahkan puluhan anak-anak dapat dijumpai di rumah baca. Memang mereka beranjak dari keluarga yang belum beruntung secara ekonomi. Setidaknya, itulah yang menyentuh, memicu, memacu sanubari sosial kemasyarakatan seorang jurnalis, satrawan dan juga budayawan Sumbar yang bernama Yusrizal KW.

Yusrizal KW, tentu bagi saya pribadi bukanlah sosok asing dalam perjalanan kehidupan berkreativitas menggeluti profesi jurnalistik. Setidaknya, ketika saya masih duduk di kelas 3 SMP Salayo tahun 1989 belajar menulis di media Koran Masuk Sekolah ( KMS) Singgalang dan setahun kemudian saat duduk dibangku kelas 1 di SMA 1 Solok, saya beruntung bisa bersirobok muka lewat pertemuan Forum Komunikasi (FK) KMS.

Hebatnya, saya diberi kesempatan untuk tidur sekamar dirumahnya di Cengkeh, Tanjung Saba, Padang. Di situlah, saya ditunjuk ajari bagaimana menulis di media seperti di KMS- Singgalang. Singkat cerita, virus positif itulah yang mengantarkan saya untuk memilih pendidikan untuk berkuliah di bidang jurnalistik mulai dari Diploma III hingga kin telah mencapai gelar Magister Ilmu Komunikasi. Artinya, Yurizal KW bagi saya adalah senior sekaligus guru besar yang turut mewarnai sisi kehidupan saya.

Makanya agak sedikit rumit bagi saya menuliskan kesan ini tentang dia, lantaran kedekatan secara emosional. Meski demikian, dalam kesempatan ini saya harus memisahkan jarak dengannya agar tulisan ini lebih objektif. Sepengatahuan saya Kebahagian tersendiri baginya ketika bisa berbagi ilmu dengan orang lain.

Kembali ke Tanah Ombak ala Yusrizal KW. Kepedulian seperti yang dilakoninya itu nan sarik batamu dan jarang basuo dalam kondisi kekinian terutama ia sebagai seorang menyandang profesi jurnalis. Dikawasan Pantai purus itu ia menyajikan peradaban bagi anak-anak dengan membaca menjadi suatu kebutuhan, pentingnya berinteraksi, berkesenian dan mengenali budaya.

Tanpa menjerit kemana-mana dia biayai sendiri untuk mendirikan taman bacaan dengan menyediakan berbagai ragam buku bacaan anak-anak. Diajari berkesenian, berteater, berbahasa tutur. Ketika kebanyakan orang sibuk menebarkan proposal untuk mendirikan berbagai ormas, komunitas, LSM dan lainnya, malah Yusrizal KW berbuat tanpa pamrih.

Bak pitua nan tuo-tuo, Baniah ditanam mako padi nan tumbuah. Keikhlasan dan keluhuran niat baiknya untuk menjadikan orang lain menjadi baik mendapat tempat bagi orang-orang penting. Gayung pun bersambut, ketika Selasa (22/12) Ketua DPD-RI, Irman Gusman mensambangi taman bacaan Tanah Ombak serta mengikutkan tokoh penting hebat lainnya anggota DPD-RI Emma Yohana, Walikota Padang Mahyeldi, Dandrem 0306/ Wirabraja, Wakil Ketua DPRD Sumbar Guspardi Gaus, Kakanwil Kemenag Sumbar Memet, Kadi Pariwisata Kota Padang Medi Iswandi, Direktur Semen Padang Benny Wendry, Wartawan senior Hasril Chaniago serta sejumlah jurnalis mendia massa nasional.

Seperti yang pernah diakui Yusrizal KW, baginya gerakan membaca,berinteraksi dan berbudaya adalah upaya yang sangat memungkinkan membangun masyarakat dan perlu ditanamkan bagi anak-anak sejak usia dini. Diyaknininya, bahwa anak-anak itu punya impian yang mulia dan optimis mereka bakal menjadi orang hebat kelak kemudian hari.

Apa yang dilakukan Yusrizal KW untuk mengajari dan menjadi panutan bagi anak-anak tersebut hanyalah bentuk partispasi sebagai masyarakat yang peduli terhadap masa depan anak-anak dikawasan pinggir Pantai Purus. Didirikannya tempat belajar tanpa sekolah dan kepala sekolah, belajar tanpa guru melainkan lebih ia lakoni dengan membimbing atau menjadi orangtua kedua bagi anak-anak asuhnya.

Jika kita kaitkan apa yang tengah dilakukan Yusrizal KW adalah satu contoh yang bisa diambil di sini adalah ajaran Islam soal membaca. Jelas ditegaskan dalam Islam bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca. Artinya Islam sangat concern dalam membangun budaya baca. Agar ajaran Islam mengenai pentingnya budaya membaca ini bisa menjadi kesadaran kolektif masyarakat, maka perlu ada pemahaman yang bisa mempengaruhi kesadaran masyarakat bahwa membaca adalah bagian dari tugas ummat beragama, membaca adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh ummat beragama, selain kewajiban formal (mahdlah) yang telah ditentukan oleh agama.

Pendeknya, pada taraf ini perlu dieksplorasi secara mendalam berbagai nilai, norma, ajaran dan pemikiran yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca untuk dijadikana sebagai capital social dan capital cultural dalam membangun strategi kebudayaan menumbuhkan budaya baca.

Setidaknya, hemat saya, lompatan dari tradisi bertutur ke tradisi menonton tanpa diperkuat dengan tidak membangun budaya baca sebelumnya cenderung bakal menghasilkan anak-anak yang bukan hanya tidak cerdas. Anak-anak tanpa diperkuat dengan budaya baca akan mengurangi sensitivitas dalam merekayasa perilaku yang sesuai dengan hati nurani dan akal pikiran sekaligus. Jangan kita biarkan lagi, televisi telah menjadi orangtua kedua dirumah.***