Asia Tenggara Janji Selamatkan Manusia Perahu

id Manusia Perahu

Bangkok, (Antara/Reuters) - Negara-negara Asia Tenggara sepakat, Jumat,

untuk mengintensifkan upaya pencarian dan penyelamatan membantu "manusia

perahu" yang terkatung-katung di lautan kawasan itu, sementara Myanmar

mengatakan angkatan laut mereka menahan sebuah kapal di lepas pantai

yang membawa lebih dari 700 penumpang. Lebih

dari 4.000 imigran telah mendarat di Indonesia, Malaysia, Thailand,

Myanmar dan Bangladesh sejak Thailand melancarkan operasi terhadap

kelompok penyelundup manusia pada Mei. Sekitar 2.000 imigran kemungkinan

masih terkatung-katung di dalam kapal di Laut Andaman dan Teluk

Benggala, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Negara-negara

yang terkena imbas krisis tersebut, dalam pertemuan di Bangkok sepakat

membentuk gugus tugas anti-penyelundupan, dan menyetujui sederet

rekomendasi untuk mengatasi "akar masalah" krisis tersebut -- meskipun

rencana itu disusun secara hati-hati agar tidak membuat marah Myanmar

yang membantah sebagai penyebab masalah.

"Bahwa

pertemuan puncak ini bisa terlaksana dengan partisipasi luas, sudah

merupakan hasil yang bagus," kata William Lacy Swing, Direktur Jendral

Organisasi Migrasi Internasional (IOM) kepada Reuters.

"Ini

adalah langkah pertama yang sangat penting. Keberadaan Myanmar di sana

adalah kunci. Saya sangat optimistis. Kami gembira bahwa mereka tetap

pada penekanan untuk mengintensifkan operasi pencarian dan

penyelamatan."

Beberapa di antara imigran tersebut adalah warga

Bangladesh yang ingin keluar dari kemiskinan di negaranya. Namun banyak

di antaranya adalah bagian dari 1,1 juta kelompok minoritas Muslim

Rohingya yang hidup dalam kondisi seperti apartheid di Provinsi Rakhine,

Myanmar.

"Anda

tidak bisa menuding negara saya," kata Direktur Jendral Kementerian

Luar Negeri Myanmar Htein Lin, yang memimpin delegasi Myanmar, dalam

pidatonya. "Dalam isu gelombang migrasi ini, Myanmar bukanlah

satu-satunya negara."

Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai

warga negara sehingga mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Pada saat

sama, Myanmar membantah melakukan diskriminasi terhadap mereka atau

bahwa mereka menghindari penyiksaan.

Myanmar

tidak menyebut kelompok itu sebagai Rohingya namun merujuknya sebagai

Bengali, yang mengindikasikan bahwa mereka berasal dari Bangladesh.

Saat

pertemuan di Bangkok itu ditutup, Kementerian Penerangan Myanmar

mengumumkan bahwa AL mereka telah menghadang sebuah kapal membawa 727

"Bengali" dan membawa mereka ke pangkalan di pulau yang berlokasi di

lepas pantai selatan untuk memastikan identitas para imigran itu.

Akar Masalah

Pertemuan Bangkok diikuti delegasi dari 17 negara ASEAN dan negara Asia

lain, selain Amerika Serikat, Swiss dan badan-badan internasional

seperti badan urusan pengungsi PBB, UNHCR dan IOM.

Seorang

delegasi dari Myanmar mendesak peserta lain untuk tidak menggunakan

istilah "Rohingya" dan sebagian besar peserta menghargai permintaan

Myanmar tersebut.

Pernyataan

akhir dalam pertemuan tersebut memasukkan satu paragraf yang menyerukan

untuk menangani faktor-faktor di tempat asal para imigran, termasuk

"upaya menghormati penuh hak asasi manusia" serta menanamkan modal dalam

pembangunan ekonomi. Pernyataan tersebut tidak menyebut langsung

Myanmar.

"Myanmar

setuju dengan dokumen pernyataan itu," kata Norachit Sinhaseni,

Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri Thailand.

Volker

Turk, Asisten Komisioner Tinggi UNHCR untuk Perlindungan sebelumnya

mengatakan, pola migrasi mematikan itu hanya bisa diakhiri jika Myanmar

menangani masalah diskriminasi terhadap minoritas Rohingya.

"Ini

sebuah awal yang bagus," kata Turk setelah pertemuan itu. "Ada satu

paragraf kuat mengenai akar masalah dalam kesepakatan itu... Ada nuansa

keterbukaan dari Myanmar yang saya sambut gembira. Ada diskusi mengenai

provinsi Rakhine."

Juga ada komitmen pendanaan dari Amerika Serikat, Australia dan Jepang untuk membantu mengatasi krisis itu.

Kamp Penyelundup Manusia

Pertemuan bertajuk Pertemuan Khusus Mengenai Migrasi di Lautan Hindia

itu digelar setelah penemuan hampir 140 kuburan di 28 kamp diduga

terkait penyelundupan manusia di sepanjang perbatasan utara Malaysia.

Pihak

berwajib Thailand telah menemukan 36 mayat di kamp-kamp yang

ditinggalkan di sisi perbatasan mereka pada awal Mei, yang kemudian

memicu dilakukannya operasi pemberantasan.

Operasi

tersebut membuat terlalu berisiko bagi para penyelundup untuk

mendaratkan imigran, sehingga mereka meninggalkan ribuan imigran di laut

dan memicu terjadinya krisis.

Pemerintah-pemerintah

di kawasan itu harus berjuang untuk merespon, meski kemudian foto-foto

pendatang yang putus asa berdesakan di atas kapal dengan persediaan

makanan dan air terbatas mendorong Indonesia dan Malaysia memperlunak

sikap mereka mengizinkan para imigran mendarat.

Malaysia

yang mengatakan sudah menampung 120 ribu imigran gelap dari Myanmar,

dan Indonesia mengatakan pekan lalu mereka akan memberi perlindungan

sementara bagi para imigran yang sudah berada di laut, namun masyarakat

internasional juga harus ikut menanggung beban untuk merelokasi mereka.

Thailand

menolak mengizinkan kapal-kapal itu mendarat dengan alasan mereka sudah

menampung lebih dari 100 ribu migran dari Myanmar, namun mereka telah

mengirimkan gugus tugas AL untuk memberikan bantuan medis di laut.

Thailand

mengatakan, Jumat, telah memberi izin AS untuk menerbangkan pesawat

pemantau di atas ruang udara Thailand bagi mengidentifikasi kapal-kapal

pembawa imigran.

"Kami harus menyelamatkan nyawa segera," kata Asisten Menteri Luar Negeri AS Anne Richard sebelum pertemuan tersebut.

Misi udara AS sudah beroperasi dari pangkalan di Malaysia, katanya. (*)