Pendidikan Tak Hanya Tentang Nilai Tinggi

id Hari Pendidikan

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh "si Inlander" memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Karena pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu!

Kalau aku seorang Belanda, apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun."

Begitulah penggalan salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan nasional yang tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, yakni tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Kalimat tersebut begitu menggetarkan semangat perjuangan kaum terpelajar di era itu, dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dan kalimat itulah yang menjadi penyebab Ki Hadjar Dewantara harus mengalami masa-masa pembuangan di Pulau Bangka, dan terbukti tidaklah menyurutkan gelora perjuangannya meskipun berada di tanah pembuangan.

Sejarah telah mencatat, bagaimana perjuangan dalam meraih kemerdekaan mulai melibatkan kaum terpelajar melalui tulisan dan forum-forum pergerakan nasional sebagai salah satu media perjuangan. Ya..sebuah perjuangan yang melelahkan dan menyita pikiran kaum cendikia tentang bagaimana bangsa ini merdeka, maju, berkarakter dan bermartabat dalam pergaulan dunia.

Dalam kondisi kekiniannya, dunia pendidikan di Indonesia agaknya masih belum menemukan format yang tepat, seperti yang digariskan oleh para pejuang - pejuang intelektual tempo dulu.

Para peserta didik mulai "dirasuki" pendapat keliru yang mengajarkan pendidikan itu sekedar meraih prestasi dan memperoleh nilai yang tinggi, tanpa memikirkan kembali untuk apa mereka berpendidikan, dalam posisinya sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya mereka cintai.

Bongkar pasang kurikulum, memburuknya moralitas oknum pendidik serta berkurangnya rasa nasionalisme dan semangat bela negara bagi generasi penerus, merupakan sejumlah variabel dari sekian banyak tolok ukur di bidang pendidikan yang harus menjadi pemikiran bersama.

Semangat Tut Wuri Handayani, sebuah kalimat yang menjadi pemantik bergeloranya semangat seorang Ki Hadjar Dewantara dalam memajukan kualitas anak bangsa, sangat perlu diperbaharui dan ditanamkan kembali di dada kita semua sebagai simbol karakter sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia.

Sehingga budaya sikut menyikut, berkompetisi dengan menghalalkan segala cara, pembedaan layanan pendidikan antara desa dan kota, diskriminasi terhadap kaum dan golongan dalam mendapatkan pendidikan, bisa dikikis habis karena tidak sesuai dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk itulah pendidikan ada, demi cita-cita itulah Ki Hadjar Dewantara "membara", agar negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat ini mampu menunjukkan peranannya dalam pergaulan dunia internasional, sebagai bangsa yang berkarakter, berbudaya dan berbudi luhur.

Selamat Hari Pendidikan, selamat ulang tahun wahai "Guru Bangsa" kami, Ki Hadjar Dewantara, gelorakanlah kembali semangat kami dan para pemimpin bangsa ini, agar pandangan dan cita-cita mu yang luhur bisa terwujud.Semoga. (*)