"Safety First" dan Nyawa Seharga Tiket AirAsia

id "Safety First" dan Nyawa Seharga Tiket AirAsia

Siapa pun yang berkecimpung di dunia bisnis menginginkan usahanya sukses dengan semua diversifikasi produk maupun layanannya tetapi tak selamanya ekspansi bisnis harus menghalalkan segala cara, termasuk di sektor penerbangan.

Salah satunya tampak pada musibah jatuhnya Pesawat AirAsia QZ 8501 dengan rute Surabaya-Singapura dengan adanya maskapai berbiaya hemat "Low Cost Carrier" (LCC) menggaet penumpang melalui tiket promo.

Dampaknya banyak orang berminat untuk terbang dengan pesawat tersebut. Memang, tiket murah diperbolehkan selama maskapai penerbangan tidak mengabaikan sisi keselamatan penumpang "safety first".

Tapi, akibat kejadian AirAsia QZ 8501 itu, Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, membuat kejutan bagi pelaku bisnis penerbangan karena mengeluarkan kebijakan menghapus tarif murah. Ketentuan itu muncul lantaran pemerintah menengarai perkembangan bisnis penerbangan yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir.

Dengan begitu, menimbulkan persaingan ketat antarmaskapai sehingga mereka menggunakan strategi tiket murah untuk meningkatkan daya tarik penumpang.

Ada maskapai yang mengoperasikan pesawatnya di rute penerbangan Jakarta - Denpasar dengan waktu tempuh satu setengah jam menjual tiket dengan harga Rp300.000 - Rp400.000 per penumpang.

Ada pula tarif kereta api eksekutif Jakarta - Surabaya dengan lama tempuh 9,5 jam harga tiketnya lebih mahal atau Rp350.000 - Rp450.000 per penumpang.

Lagi-lagi, keputusan pemerintah yang di luar dugaan itu mendapat kritikan pedas dari kalangan pengusaha di Tanah Air. Khususnya mereka yang selama ini bergerak di industri pariwisata mengingat ada dampak berkelanjutan dari peristiwa tersebut.

Mereka menilai dengan menghapus tarif penerbangan murah, masyarakat menengah bawah yang selama ini mengunjungi berbagai objek wisata di Tanah Air dengan memanfaatkan pesawat LCC terpaksa menahan keinginannya.

Dalam perkembangan bisnis, antara industri penerbangan dan pariwisata ada banyak pihak yang terkait satu sama lain.

Misalnya mulai dari maskapai penerbangan itu sendiri, penumpang pesawat, dan perusahaan makanan minuman baik restoran maupun katering.

Tak ketinggalan, pelaku perhotelan, pusat perbelanjaan (ritel), hingga masyarakat yang membuka usaha oleh-oleh khas daerah di objek wisata tertentu dengan predikat Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Imbas lainnya, muncul kekhawatiran pada masa mendatang pemerintah daerah di penjuru Nusantara yang sampai sekarang menggantungkan pendapatan dari sektor pariwisata harus merelakan pemasukannya.

Tapi, ada baiknya pemda itu mau melakukan upaya untuk mengantisipasi hal tersebut. Sejumlah pemda itu selaiknya kini mulai meningkatkan pendapatan di sektor lain yang lebih potensial.

Selain itu, bagi perusahaan yang memfokuskan dirinya pada layanan publik sudah selaiknya mengutamakan keselamatan terlebih dulu, bukan mengejar keuntungan semata.

Pascakejadian jatuhnya Pesawat AirAsia QZ 8501 di Selat Karimata 28 Desember 2014, sontak sejumlah pemangku kepentingan menelusuri sebab-musabab musibah tersebut.

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menduga terjadi pelanggaran izin terbang karena adanya kerja sama antara pihak maskapai penerbangan dengan si pemberi izin.

Jadwal resmi penerbangan Pesawat AirAsia QZ 8501 rute Surabaya- Singapura pada hari Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu.

Namun, musibah tersebut terjadi pada hari Minggu (28/12) dengan diawali hilangnya kontak pesawat jenis Airbus tersebut karena diduga armada itu terkena awan cumulunimbus.

<b>Restrukturisasi Transportasi</b>

Akhirnya, melalui operasi yang dilakukan Badan SAR Nasional (Basarnas) dan tim gabungan akhirnya menemukan bahwa pesawat itu jatuh di Selat Karimata.

Dari 162 penumpang, hingga kini sudah ditemukan 50-an jenazah dengan beberapa di antaranya telah dibawa keluarga korban ke kampung halaman dan lainnya masih dalam proses identifikasi Tim Disaster Victim Identifivation (DVI) Polda Jatim.

Meski begitu, akibat insiden itu sejumlah oknum yang terkait dengan izin penerbangan tersebut ditindak tegas dan direkomendasikan untuk dimutasi.

Namun, izin terbang QZ 8501 yang dianggap melanggar itu tidak diamini begitu saja oleh manajemen AirAsia Indonesia. Mereka tetap kukuh pada pendiriannya karena izin terbang pesawatnya legal dan sudah mendapat persetujuan resmi.

Menanggapi hal tersebut, Plt Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Djoko Murjatmojo, menyatakan telah merekomendasikan mutasi pejabat terkait insiden Air Asia QZ 8501. Rekomendasi mutasi ditujukan kepada pihak Angkasa Pura I dan ATC.

Melalui kebijakan itu maka petugas yang dianggap bertanggung jawab dalam insiden Air Asia QZ 8501 dari dua instansi tersebut diminta tidak lagi ditugaskan di bagian operasional.

Di lain pihak, rekomendasi Kemenhub terkait insiden AirAsia QZ 8501 belum ada tindak lanjut dari PT Angkasa Pura (AP) I selaku pengelola Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo.

Apalagi, General Manager AP I, Trikora Harjo, mengemukakan pihaknya belum mendapatkan perintah dari pimpinan perusahaan untuk melakukan mutasi tersebut mengingat upaya yang disampaikan Kemenhub sifatnya hanya rekomendasi.

Secara umum bisa dikatakan, untuk mengelola satu sektor bisnis terutama yang menyangkut pelayanan kepada masyarakat memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Perlu manajemen yang berkualitas, profesional, selalu mengedepankan mutu layanan, dan sekali lagi mendahulukan aspek keselamatan.

Dari musibah Pesawat AirAsia QZ 8501 yang membawa 155 penumpang dan tujuh kru AirAsia tersebut, Kemenhub juga menemukan bahwa lima maskapai melayani 61 rute penerbangan secara ilegal.

Untuk itu, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub membekukan seluruh rute tersebut dengan alasan keselamatan penumpang.

Dari lima maskapai yang dibekukan, salah satunya Garuda Indonesia dengan latar belakang sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Tapi akhirnya perseroan itu langsung mengajukan izin kembali ke pemerintah terhadap sejumlah rute penerbangan yang dinilai melanggar izin.

Melihat kondisi itu, saat ditemui di Surabaya (10/1), Presiden Joko Widodo berharap peristiwa AirAsia QZ 8501 menjadi momentum Indonesia untuk berbenah. Karena sektor penerbangan berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), kini saat yang tepat baginya untuk restrukturisasi.

Akan tetapi bukan hanya pada kebijakan dan personel yang ditugaskan di sektor penerbangan. Di Kemenhub ada bidang lain seperti angkutan darat baik kereta api maupun bus serta transportasi laut dan semuanya harus dibenahi secara menyeluruh.

Untuk pembenahan di lingkup BUMN, hal tersebut dinyatakan Menteri BUMN, Rini Soemarno, yang ketika itu menemani Presiden Joko Widodo berkeliling di beberapa BUMN di Kota Pahlawan. Mulai awal tahun 2015, pemerintah berkomitmen siap mengevaluasi manajemen maskapai penerbangan Merpati Nusantara.

Apabila kondisi perusahaan yang mengoperasikan pesawat di jalur perintis itu dikategorikan sehat, Kementerian BUMN akan menyuntikan dana untuk pengembangan bisnis Merpati Nusantara pada masa mendatang tapi dengan syarat selalu mengutamakan keselamatan penumpang.

Meski demikian, pembenahan di kalangan BUMN itu tidak terpaku di sektor transportasi melainkan infrastruktur, perkebunan, pertanian, perbankan, dan lainnya.

Seluruh rangkaian pembenahan itu diyakini mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat. Khususnya saat mereka menggunakan transportasi baik darat, laut, maupun udara di berbagai penjuru Indonesia perjalanannya aman, nyaman, dan zero accident.

Kalaupun pada kemudian hari terjadi musibah, pemerintah bersama pihak terkait akan bertindak ekstra cepat sehingga tidak ada masyarakat yang menjadi korban.

Ya, tidak ada nyawa seharga tiket! (*)