Merajut NKRI Melalui Bakti Pemuda

id Merajut NKRI Melalui Bakti Pemuda

Merajut NKRI Melalui Bakti Pemuda

Kadispora Sumbar Priadi Syukur berfoto bersama lima peserta program Bakti Pemuda Antar Propinsi (BPAP) asal Sumbar di Kampung Yobeh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabt9 (22/11) lalu. B

Suasana di halaman Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua, Kampung Yobeh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, siang itu tampak lebih ramai dibanding hari biasa.

Di kampung yang terletak sekitar 45km di timur Ibukota Papua itu, terdengar tawa canda sekitar 15 pemuda asal Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah yang membaur dengan pemuda dan warga sekitar.

Hari itu, Sabtu siang (22/11), warga setempat bergotong royong membersihkan gereja yang berdiri megah di sebidang tanah yang cukup luas dengan halaman rumput yang tampak subur dan dikeliling rindangnya pepohonan.

Nabila Shafira dan Silvia Astutik, mahasiswi asal Sumatera Barat, tampak bersemangat dan tanpa rasa canggung mengecat dinding gereja dengan warna putih, sementara rekannya yang lain membersihkan rumput liar yang tumbuh di halaman. Rekan pria mereka mendapat tugas mengangkut pasir untuk adukan semen yang digunakan untuk memperbaiki pagar.

Tawa dan canda dalam berbagai bahasa daerah yang bercampur dengan logat Papua pun menambah akrab suasana antara warga lokal dengan pemuda peserta Program Bakti Pemuda Antar Propinsi (BPAP) yang digagas Kementerian Pemuda dan Olahraga itu.

Sebanyak 15 pemuda dan pemudi asal Sumbar, Kaltim dan Sulsel tersebut berada di Kampung Yobeh untuk mengikuti Program BPAP yang berlangsung selama 25 hari, yaitu 2-27 November 2014. Selama berada di lokasi, mereka menginap di tiga rumah warga yang disebut keluarga angkat dan melakukan berbagai kegiatan di tengah masyarakat, diantaranya memperkenalkan budaya daerah masing-masing dan juga mempelajari ada istiadat masyarakat setempat.

Peserta dari Sumbar misalnya, memperkenalkan berbagai kuliner khas mereka yang mungkin masih terasa asing bagi masyarakat Papua, seperti asam padeh, ondeh-ondeh dan minuman teh telur yang tidak selalu bisa dijumpai di rumah makan padang.

"Rendang sudah terlalu umum dan sudah dikenal luas, kami ingin mengenalkan kuliner yang lebih khas. Selain itu, sulit juga untuk mengajarkan mereka memasak rendang karena bumbunya sulit ditemui disini," kata Khairul Anwar, peserta lain yang juga berasal dari Sumbar.

Trendy Palkanov, peserta asal Kaltim mengakui bahwa program BPAP telah membuka wawasan dan cakrawala dirinya tentang keberagaman yang ada di Tanah Air dan selama berada di Kampung Yobeh tersebut, ia banyak menemukan hal-hal yang diluar perkiraan sebelumnya.

"Terus terang sebelum menginjakkan kaki di Bumi Cendrawasih ini, yang ada di benak saya adalah sebuah daerah dimana penduduknya masih menggunakan koteka dan hidup di rumah tradisional honai. Saya terkejut ketika menemui bahwa di Papua ternyata juga ada bioskop XXI, (karaoke) Inul Vizta dan mal modern," kata Trendy yang berasal dari Bontang itu.

Trendy dan beberapa rekannya ditampung oleh keluarga Alfred Felle, mantan kepala desa Yobeh dan mereka sudah dianggap seperti anak sendiri. Karena sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, Trendy berserta dua rekannya asal Katlim, yaitu Syarifah Meisaroh dan Syarifah Meisaroh mendapat kehormatan dengan pemberian marga Felle. Begitu juga dengan Khairul Anwar dan beberapa rekannya dari Sulteng yang diberi marga Sokoy oleh keluarga angkat mereka.

"Sekarang marga bertambah dan nama lengkap saya menjadi Khairul Anwar Piliang Sokoy," kata mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat di Bukittinggi itu.

Daniel Waramory, pemuda lokal yang bertugas menjadi pendamping ke-15 peserta BPAP tersebut, tidak sembarang orang dari luar kampung itu yang bisa mendapatkan marga setempat, karena kalau sudah diberi marga, berarti mereka secara ada sudah diakui sebagai bagian dari warga tersebut.

Daniel menceritakan tentang seorang peserta asal Malang peserta BPAP tahun 2006 yang bahkan diberi sebidang tanah yang cukup luas karena pemuda tersebut benar-benar sudah menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga setempat.

Sebagai tuan rumah, Daniel yang merupakan salah satu alumni Program BPAP asal Papua mengakui bahwa banyak orang yang berpandangan keliru tentang kondisi di provinsi paling timur Indonesia itu dan ia berharap para pemuda asal tiga propinsi tersebut bisa memberikan gambaran yang benar tentang Papua ketika mereka sudah kembali ke daerah masing-masing.

"Tapi program yang hanya selama 25 hari dirasakan sangat pendek karena untuk pengenalan dan adaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar saja membutuhkan waktu setidaknya satu minggu, belum lagi untuk mengadakan program-program lain," katanya.

Menyatukan Pemuda

Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora Yuni Poerwanti yang merupakan penanggung jawab program, menegaskan bahwa BPAP yang merupakan rangkaian dari Jambore Pemuda Indonesia (JPI) itu, mendapat tanggapan sangat positif dari banyak daerah karena bisa menjadi solusi untuk memperkuat solidaritas antar pemuda dalam rangkat merajut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sempat ditiadakan selama dua tahun, pada 2012 dan 2013, PBAP kembali digelar, tapi dengan waktu yang dipersingkat menjadi 25 hari dari 45 hari sebelumnya.

"Dalam berbagai kesempatan, para kepala dinas meminta saya agar program PBAP bisa kembali dilaksanakan dengan waktu yang lebih lama, minimal sebulan karena sudah terbukti bermanfaat untuk memperluas wawasan kebangsaan dan mempersatukan para pemuda di seluruh Tanah Air. Selain itu, sebagian besar daerah juga mempunyai program Bakti Pemuda Antar Daerah (PBAD) sebagai tahapan menuju PBAP," kata Yuni.

BPAD menjadi ajang seleksi di daerah untuk memilih pemuda yang akan mewakili daerah masing-masing di tingkat nasional.

Menurut Yuni, BPAP adalah kegiatan pertukaran pemuda antar provinsi yang diikuti 20 sampai 25 pemuda setiap provinsi. Setiap provinsi menerima dan juga mengirimkan utusan pemuda ke beberapa provinsi lain yang ditentukan, untuk saling mengenal nilai-nilai budaya dan potensi masing-masing provinsi, menambah wawasan, mengembangkan kreativitas dan kemandirian.

"Ini adalah program jangka panjang. Mereka yang mengikuti program saat ini akan menjadi pemimpin dalam waktu 15 sampai 20 tahun mendatang. Tentunya setelah mengikuti program PBAP, cara pandang dan wawasan kebangsaan anak-anak muda ini sudah semakin luas," kata Yuni menambahkan.

Sementara itu Asisten Deputi Bidang Peningkatan Wawasan Pemuda Djunaedi mengatakan bahwa anggaran 2015 akan menyusut dan otomatis berimbas pada program BPAP dan program lainnya.

"Karena anggaran dikurangi dengan jumlah yang cukup signifikan, mungkin program JPI dan BPAP 2015 akan dipersingkat. BPAP sendiri mungkin hanya sekitar 15 hari," jelas Djunaedi. Padahal, pada awalnya, waktu pelaksaan program BPAP pernah selama tiga bulan tapi kemudian terus dikurangi menjadi 25 hari.

Rencana pemangkasan waktu pelaksanaan BPAP tersebut disayangkan oleh Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda Sumatera Barat Priadi Syukur yang sengaja datang ke Papua untuk mengunjungi peserta dari daerahnya.

"Kalau hanya lima belas hari, itu lebih cocok untuk menjadi turis karena waktunya hanya habis untuk adaptasi dengan masyarakat. Saya berharap pemerintah akan menyetujui bila program tersebut kembali selama tiga bulan seperti sebelumnnya," kata pria asal Solok tersebut.(ant/sa)