Dan di Laut Kita (Ingin) Jaya

id Dan di Laut Kita (Ingin) Jaya

"Nenek moyangku orang pelaut//Gemar mengarung luas samudra...//Pemuda berani bangkit sekarang//Ke laut kita beramai-ramai."

Sebaris lirik lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" itu tampaknya dapat mewakili semangat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim.

Mengingat kondisi geografis bangsa yang berupa kepulauan, lebih kurang 17.000 pulau, wajar kiranya jika bangsa ini pernah dikenal sebagai negara bahari dengan para pelaut ulung yang mengembara menjelajahi kepulauan.

Letaknya yang sangat strategis berada di persimpangan antara dua samudra, Samudra Hindia dan Pasifik, pun telah membawa Indonesia menjadi salah satu hub pelayaran yang sangat populer di abad pertengahan.

Hub-hub tersebut telah tercatat dalam sejarah dunia menjadi persinggahan pelaut-pelaut ulung masa lampau. Kapal-kapal pedagang asing yang merapat di pelabuhan-pelabuhan nasional itu pulalah yang memperkenalkan bangsa ini pada keragaman budaya dunia yang menciptakan akulturasi budaya yang unik dan khas.

Namun, masa kejayaan para pelaut bangsa tak berlangsung lama. Selama beberapa dasawarsa terakhir hampir semua pelabuhan di nusantara meredup pamornya di saat pelabuhan di beberapa negara tetangga terus meroket.

Sejarawan Hilmar Farid menilai kegagalan menguasai dan mengendalikan laut sesuai ritme bangsa adalah akar masalah Indonesia.

Ditemui dalam acara Pidato Kebudayaan 2014 bertema "Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik" awal pekan ini, dia menjelaskan bahwa laut yang sejatinya fundamental dalam kehidupan sebuah negeri maritim telah ditinggalkan sejak zaman Amangkurat I.

Tanpa menajemen pengelolaan perairan yang baik maka laut yang seharusnya menjadi penghubung justru menjadi penghalang. Tak perlu lagi dipertanyakan ketika harga satu sak semen di provinsi paling timur, Papua, bisa sepuluh hingga 20 kali lebih mahal daripada di Pulau Jawa.

Laut menjadi tembok penghalang terbesar yang kemudian membebani pola distribusi barang dan jasa nasional.

Tak hanya itu, tidak maksimalnya pemanfaatan laut mengakibatkan laut menjadi salah satu lokasi terjadinya aksi-aksi kejahatan transnasional antara lain pencurian ikan dan penyelundupan manusia.

<b>Poros Maritim Dunia</b>

Setelah beberapa waktu lamanya laut dengan segala potensinya seakan lepas dari perhatian para pemimpin negeri wajar kiranya jika ide Presiden Jokowi untuk mengusung gagasan Poros Maritim Dunia menarik perhatian banyak kalangan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tak sedikit yang penasaran dengan gagasan tersebut, termasuk para kepala negara sahabat yang menurut Presiden Jokowi bertanya langsung padanya.

"Tidak jauh-jauh dari poros maritim dan tol laut. Ngomong sana kemari akhirnya itu lagi," katanya kata Presiden dalam sebuah wawancara doorstop di sela-sela kunjungan kerjanya di Pulau Sulawesi di pekan kedua masa kerjanya.

Namun selain membentuk kementerian koordinator kemaritiman hingga pekan ketiga pemerintahannya tak banyak yang diketahui publik terkait elaborasi gagasan Poros Maritim Dunia tersebut.

Menjawab semua rasa penasaran tersebut, Presiden Jokowi memaparkan gagasan Poros Maritim Dunia dalam sidang panel Pertemuan Puncak ke-9 Asia Timur (EAS) di Nay Pyi Taw, Myanmar.

Di hadapan 17 kepala pemerintahan negara-negara EAS, Presiden menyampaikan seiring terjadinya sebuah transformasi besar yang menggeser pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia dari Barat ke Asia Timur, Indonesia menegaskan dirinya sebagai Poros Maritim Dunia mengingat Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan "lorong" lalu lintas maritim dunia.

Ia juga mengatakan bahwa posisi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tersebut akan membuka peluang bagi Indonesia untuk membangun kerja sama regional dan internasional bagi kemakmuran rakyat.

Presiden menyampaikan bahwa agenda pembangunan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tersebut memiliki lima pilar utama yaitu pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia mengingat sebagai negara kepulauan Indonesia harus menyadari jika kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh bagaimana mengelola samudera.

Pilar kedua adalah komitmen untuk menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.

Kemudian pilar ketiga adalah komitmen untuk mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun Tol Laut, pelabuhan laut dalam, logistik dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.

Sedangkan diplomasi maritim yang mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerjasama di bidang kelautan ditempatkan sebagai pilar keempat.

"Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan dan pencemaran laut," ujarnya.

Sementara itu pilar terakhir adalah sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan pertahanan maritim.

"Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim kami, tetapi juga sebagai bentuk tanggungjawab kami dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim," katanya.

Pada kesempatan itu Presiden mengakui jika ia sengaja memilih forum tersebut untuk memaparkan gagasannya mengingat peran penting forum itu bagi keamanan, stabilitas dan kemakmuran ekonomi di kawasan.

Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen pertahun dan total GDP sekitar USD 40 triliun, kawasan Asia Timur memang merupakan kawasan paling dinamis secara ekonomi mengingat sekitar 40 persen perdagangan dunia ada di kawasan.

<b>Merajut Komitmen</b>

Tak hanya mengkampanyekan konsep Poros Maritim Dunia, dalam kunjungan kerja pertamanya ke luar negeri, Presiden Jokowi juga mendorong peningkatan kerja sama internasional terutama di bidang infrastruktur dan maritim.

Selama satu pekan penuh, Presiden menggelar sejumlah pertemuan bilateral dengan para timpalannya dari negara-negara sahabat, sebut saja Perdana Menteri India Narendra Modi, Perdana Menteri Australia Tony Abbot, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri Selandia Baru John Key, dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Ia juga tampil dalam sebuah forum bisnis di hadapan para pemimpin dunia industri untuk secara khusus menyampaikan rencana Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia dan mengundang para pengusaha itu turut ambil peran menuju sebuah Indonesia baru.

Tak tanggung-tanggung, Presiden juga menjamin untuk mencarikan jalan ke luar segala persoalan yang dulu menjadi hambatan utama dalam investasi di Indonesia, masalah perizinan dan pembebasan lahan.

Kepala Negara dalam berbagai kesempatan memang telah menyampaikan penilaiannya bahwa salah satu hambatan peningkatan investasi dan iklim usaha di Indonesia saat ini adalah prosedur perizinan yang rumit sehingga menyulitkan kalangan pengusaha.

Ditegaskannya, proses yang seharusnya bisa berjalan dengan sederhana tidak perlu dibuat rumit karena pada gilirannya akan menyulitkan semua pihak dan mengganggu perekonomian.

"Masalah izin terlalu lama, saya sudah mendengar dari bawah, investor lokal maupun dari luar, masa izin mau pembangkit tenaga listrik sampai dua tahun, ada yang empat tahun belum rampung, terakhir ada yang enam tahun belum selesai, ya udah bubar dong, gimana?" kata Presiden saat melakukan pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Brisbane, Australia.

Dalam forum G20, yang beranggotakan negara-negara ekonomi berpengaruh dunia, Presiden mengatakan bahwa dalam enam bulan mendatang Indonesia akan memiliki sistem perizinan investasi terintegrasi tingkat nasional yang dapat diakses secara online atau dalam jaringan.

Ia juga menyampaikan pengalamannya dengan pembebasan lahan baik saat menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah maupun Gubernur DKI Jakarta, yang memperoleh sambutan positif.

Merangkum kunjungan kerja pertamanya ke manca negara tersebut, di dalam pesawat kepresidenan, sesaat sebelum mendarat di tanah air, Presiden Jokowi mengakui telah mengantongi sejumlah komitmen kerja sama dengan beberapa negara sahabat.

Ia berjanji untuk segera memerintahkan para menterinya menindaklanjuti semua komitmen tingkat kepala negara tersebut agar membuahkan hasil nyata bagi rakyat.

Untuk melihat bukti nyata buah perjalanan tersebut tentu publik masih harus bersabar. Namun genderang telah ditabuh; "Pemuda berani bangkit sekarang". (*)