Memperkuat Negara Kesatuan: Pelajaran dari Referendum Skotlandia

id Memperkuat Negara Kesatuan: Pelajaran dari Referendum Skotlandia

Satu kesamaan antara Inggris Raya dan Republik Indonesia adalah keduanya menganut sistem negara kesatuan yang berbeda dengan negara yang menganut federalisme seperti Amerika Serikat dan India.

Sistem negara kesatuan di Inggris Raya (yang secara kasar terbagi atas Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara) juga kerap mendapat cobaan, antara lain upaya referendum yang terjadi di Skotlandia.

Referendum yang mempertentangkan kelompok prointegrasi (tetap bersatu dengan Inggris Raya) dengan kelompok prokemerdekaan (memisahkan diri dengan Inggris Raya), bahkan hingga diulas khusus oleh Majalah Time edisi 15 September 2014.

Artikel dalam Time yang bertajuk "Leap of Faith: Will Scottish Voters Decide They're Better Off Saying Goodbye to Britain?" mengulas argumen-argumen pro dan kontra terkait dengan rencana kemerdekaan yang dipimpin oleh Partai Nasional Skotladia (SNP).

Deputi Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon dari SNP menyatakan Skotlandia bila merdeka akan dapat menjadi negara yang lebih sukses secara ekonomi, antara lain karena 60 persen cadangan minyak bumi di Uni Eropa diperkirakan terdapat di kawasan lepas pantai Skotlandia.

Sturgeon berpendapat, "Meski memiliki potensi kekayaan yang hebat, banyak warga di Skotlandia yang tidak mendapatkan manfaat yang sepadan."

Sementara itu, anggota parlemen Partai Konservatif Rory Stewart mengemukakan bahwa pihak nasionalis menyalahkan berbagai permasalahan Skotlandia kepada Inggris.

Padahal, ujar Stewart yang juga berasal dari Skotlandia, peningkatan kesejahteraan masyarakat Skotlandia dapat tercapai tanpa harus memisahkan diri, tetapi dengan memperkuat demokrasi lokal.

Referendum yang telah digelar pada tanggal 18 September 2014 itu juga telah memberikan hasil bahwa Skotlandia menolak kemerdekaan dan mempertahankan keutuhan persatuan dengan Kerajaan Inggris Raya.

Berdasarkan hasil yang dikutip dari kantor berita AFP, jumlah warga yang tidak mendukung kemerdekaan sebanyak 55,42 persen sedangkan yang mendukung sebanyak 44,58 persen.

Ratu Elizabeth sebagai Kepala Negara Inggris Raya pada hari Jumat (19/9) mengatakan bahwa setiap orang di Inggris akan menghormati hasil referendum kemerdekaan Skotlandia, yaitu wilayah tersebut tetap menjadi bagian dari Inggris.

Saat mengeluarkan pernyataan tertulis dari Balmoral Castle di Skotlandia Utara, Ratu Inggris tersebut mengatakan bahwa hasil pemungutan suara Skotlandia untuk tetap menjadi bagian dari Inggris adalah "hasil yang akan kami semua di seluruh Inggris hormati".

Ratu Elizabeth sebagaimana diberitakan kantor berita Xinhua mengatakan bahwa masyarakat Skotlandia akan bersatu lagi "dengan saling menghormati dan mendukung".

Sementara itu, Perdana Menteri Inggris David Cameron sebagai Kepala Pemerintahan Inggris Raya mengatakan bahwa pihaknya telah berbicara dengan pemimpin SNP Alex Salmond sekaligus mengucapkan selamat atas kampanye yang diperjuangkan dengan keras.

"Saya gembira SNP akan bergabung dalam pembicaraan mengenai desentralisasi lebih lanjut. Sekarang waktunya bagi Kerajaan Inggris untuk bersatu dan melangkah ke depan," kata Cameron.

Cameron menambahkan bahwa perdebatan tentang kemerdekaan Skotlandia dari Inggris telah ada sepanjang satu generasi dan pemerintah Inggris telah mendengar keinginan rakyat Skotlandia untuk tetap bersama.

Sementara itu, Alex Salmond mengatakan bahwa pihaknya menerima hasil pemilihan suara pada hari Jumat dan meminta warga Skotlandia untuk tetap mengikuti suara demokrasi dari hasil pemilihan itu.

Alex Salmond juga menyatakan akan mundur dari posisinya sekaligus sebagai pemimpin SNP setelah pemilihan suara rakyat Skotlandia menghasilkan tetap bergabung dengan Kerajaan Inggris.

"Saya percaya di situasi baru yang menggairahkan ini, diwarnai dengan kemungkinan, partai, parlemen, dan negara akan mendapat keuntungan dari kepemimpinan baru," kata Salmond dalam konferensi pers di Edinburgh, Jumat waktu setempat, seperti dikutip AFP.

Salmond berharap 1,6 juta orang Skotlandia yang memilih merdeka dari Inggris akan tetap menekan pemerintah Inggris agar memberikan kekuasaan yang baru sebagaimana janjinya kepada Skotlandia. Janji pemberian otonomi itu merupakan alternatif bagi Skotlandia jika tetap bergabung dengan Inggris.

Dari Uni Eropa, pemimpin eksekutif Uni Eropa Jose Manuel Barroso menyatakan penolakan kemerdekaan Skotlandia dari Inggris akan membantu membentuk Uni Eropa lebih "bersatu, terbuka, dan kuat".

"Saya menyambut keputusan rakyat Skotlandia mempertahankan kesatuan Inggris. Hasil ini baik untuk Eropa yang bersatu, terbuka dan kuat berdasarkan Komisi Eropa," kata Barroso dalam sebuah pernyataan.

Barroso sebelumnya telah memperingatkan Skotlandia bahwa kawasan itu harus mengajukan permohonan kembali untuk keanggotaan Uni Eropa jika menjadi sebuah negara merdeka.

Berbagai euforia dalam beragam bentuknya kini dirasakan oleh kelompok prointegrasi yang berhasil mempertahankan semangat negara kesatuan di Inggris Raya.

Namun, mereka juga harus ingat bahwa pemimpin Inggris Raya dalam saat-saat terakhir sebelum referendum juga menjanjikan otonomi yang lebih luas kepada Skotlandia bila hasil yang diperoleh menyatakan bahwa Skotlandia menolak berpisah dengan Inggris.

<b>Kembalikan Semangat Kesatuan</b>

Terkait dengan penguatan sistem negara kesatuan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam suatu kesempatan juga pernah mengatakan bahwa dirinya menginginkan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang dapat mengembalikan semangat negara kesatuan.

"Merupakan kewajiban moral dan politik bagi pemerintah untuk menghadirkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lebih tepat dan lebih efektif," kata Presiden Yudhoyono saat membuka rapat terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/9).

Menurut Presiden, Indonesia perlu memiliki Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lebih tepat, antara lain karena fakta dan realitas bahwa negara ini menganut sistem negara kesatuan, bukan negara federasi.

Yudhoyono berpendapat bahwa perbedaan antarkedua sistem itu sangat mendasar dan saat ini dinilai ada distorsi dan deviasi atau penyimpangan dari negara kesatuan.

Presiden mengungkapkan bahwa saat dirinya berbincang dengan kolega pemimpin dunia lainnya, dirinya kerap ditanya mengenai mengapa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, tetapi sekaligus menjalankan otonomi daerah.

Kontradiksi tersebut, lanjut Presiden, kerap ditanyakan kepada dirinya apakah tidak ada komplikasi atau benturan.

Presiden Yudhoyono juga menilai, setelah hampir satu dekade memimpin RI, terdapat banyak daerah yang maju sesuai dengan potensinya. Akan tetapi, lebih banyak lagi yang kemajuannya di bawah potensi yang dimiliki.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah pusat Republik Indonesia juga ingin melakukan perbaikan terhadap hal tersebut, antara lain dengan menentukan sistem pemerintahan daerah yang lebih tepat.

"Mengapa Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu diperlukan karena dalam praktik kerap terjadi tata pemerintahan yang tidak sejiwa dan sejalan dengan sistem negara kesatuan," ujar Presiden SBY.

Dengan semangat negara kesatuan sebagaimana yang telah ditunjukkan warga Skotlandia prointegrasi, Republik Indonesia juga dapat belajar bagaimana untuk tetap memperkukuh NKRI. (*)