Ketua MPR dari TK ke SD

id Ketua MPR dari TK ke SD

Ketua MPR dari TK ke SD

Ketua MPR yang baru Sidarto Danusubroto mengucap sumpah saat pelantikan Ketua MPR di Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (Antara)

Wakil rakyat tiga periode di DPR/MPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejak 1999, Irjen Pol (Purn) Drs Sidarto Danusubroto SH, akhirnya ditunjuk dan dilantik menjadi Ketua MPR.

Dia menggantikan Taufiq Kiemas yang wafat karena sakit di Singapura pada 8 Juni lalu.

Sidarto Danusubroto atau yang kerap disapa dengan inisial SD, Pak Darto, atau Opa, lebih senior dari faktor usia dibanding Taufiq Kiemas alias Pak TK yang digantikannya. SD kelahiran Pandeglang, Banten, 11 Juni 1936 sedangkan TK kelahiran Jakarta 31 Desember 1942.

Namun dalam urusan program dan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan RI, yang sejak 2009 didengungkan oleh Taufiq Kiemas,

Sidarto adalah penerusnya.

Setelah resmi mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua MPR, pejabat nomor 1 pada salah satu lembaga tinggi negara itu, Sidarto meninggalkan pos sebelumnya sebagai anggota Komisi I DPR RI dan Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP).

Ia mengucapkan sumpah jabatan pada 8 Juli lalu di hadapan pimpinan MPR, pimpinan fraksi, dan kelompok anggota, serta dihadiri oleh Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua BPK Hadi Purnomo. Pengucapan sumpah itu tepat sebulan setelah Taufiq Kiemas wafat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Tata Tertib MPR.

Sidarto Danusubroto menjadi Ketua MPR ke-13 setelah Chaerul Saleh (MPRS 1960-1966), Jenderal TNI Abdul Haris Nasution (MPRS 1966-1972), Idham Chalid (MPR/DPR 1972-1977), Adam Malik (MPR/DPR 1977-1978, kemudian menjadi Wakil Presiden), Daryatmo (MPR/DPR 1978-1982), Jenderal (Purn) Amir Machmud (MPR/DPR 1982-1987), Letjen (Purn) Kharis Suhud (1987-1992), Letjen (Purn) Wahono (1992-1997), Harmoko (MPR/DPR 1997-1999), Amien Rais (1999-2004), Hidayat Nurwahid (2004-2009), dan Taufiq Kiemas (2009-2013).

Suami Sri Artiwi itu menjadi Ketua MPR setelah diusulkan oleh Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Tata Tertib MPR menyebutkan bahwa pimpinan MPR yang berhalangan tetap digantikan oleh anggota asal partainya.

Megawati kemudian mengusulkan nama Sidarto untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan suaminya, Taufiq Kiemas.

Megawati menyampaikan nama Sidarto sebagai Ketua MPR saat menerima empat Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, Melanie Leimina, Ahmad Farhan Hamid, dan Lukman Hakim Saifuddin di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Kamis (4/7).

Dalam pertemuan itu hadir pula Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Puan Maharani, dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI Yasona Laoly.

Sebelumnya para Wakil Ketua MPR bersama Yasona Laoly dan Sekretaris Fraksi PDIP MPR Ahmad Basarah mengeluarkan surat bernomor MJ020/1/2013 tanggal 19 Juni 2013 tentang pemberitahuan nama pengganti Ketua MPR yang ditujukan kepada Megawati.

Putri Bung Karno dan mantan Presiden Ke-5 RI (2001-2004) itu kemudian mengeluarkan surat keputusan DPP PDI Perjuangan Nomor 3981/IN/DPP/VII/2013 tanggal 3 Juli 2013 yang memutuskan Sidarto Danusubroto menjadi Ketua MPR.

Kemudian penetapan Sidarto sebagai Ketua MPR tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan MPR Nomor 8. Surat tersebut berisi penetapan Sidarto sebagai Ketua MPR 2013-2014.

Sidarto berjanji menjadi jembatan yang menghubungkan pimpinan di internal MPR maupun dengan pimpinan lembaga tinggi negara yang lain seperti Presiden, DPR, DPD, MA, BPK, dan Mahkamah Konstitusi.

"Mandat yang saya terima dari pimpinan MPR RI dan Ketua Umum PDI Perjuangan agar bisa menjadi jembatan yang menghubungkan bagi pimpinan di internal MPR dan pimpinan lembaga tinggi negara. Saya akan berusaha keras menjalankan mandat tersebut," kata Sidarto

Ia juga akan akan melanjutkan program-program yang telah berjalan di MPR terutama sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Ajudan Bung Karno

Sidarto Danusubroto mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Yogyakarta dan lulus pada 1948. Tiga tahun kemudian pada 1952, ia tamat dari SMP Negeri 1 Yogyakarta dan masih di Kota Gudeg pada tiga tahun kemudian dia lulus dari SMA Negeri VI.

Selain bersekolah, ia juga aktif dalam organisasi kepanduan (Pramuka) dan menjadi Ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) saat SMA bahkan setelah sekian lama tamat dari SMA, ia menjadi Ketua Umum Keluarga Pelajar SMA VI Yogyakarta.

Selepas SMA, dia melanjutkan menjadi polisi dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan tamat pada 1962. Ia pernah aktif juga sebagai Pemimpin Umum Majalah Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian (ISIK) pada 1969 serta menjadi pengurus senat di PTIK/Seskopol. Ia berhasil meraih gelar Sarjana Hukum setelah mengikuti ujian negara pada 1965.

Ia bertugas di Kepolisian RI hingga suatu waktu diperintahkan negara untuk menjadi ajudan Presiden Soekarno pada 1967-1968.

Masa penugasan sebagai ajudan Bung Karno merupakan bagian yang amat berkesan dalam perjalanan hidup Sidarto. Ia menceritakan pengalamannya menjadi ajudan Sang Proklamator itu dalam buku yang ditulis oleh Asvi Warman Adam berjudul "Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno Sisi Sejarah Masa Transisi Di Sekitar Supersemar".

Pada buku yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Jakarta, pada Juni 2013, dikisahkan tentang Sidarto Danusubroto yang menjadi saksi bagaimana buruknya tindakan pemerintah terhadap seorang Presiden yang masih menjabat walaupun "de facto" sudah nonaktif.

Soekarno tidak pernah diputuskan menjadi tahanan kota bahkan tahanan rumah namun untuk bepergian dari rumahnya di Batu Tulis di Bogor ia harus meminta izin kepada dua Pangdam.

Pangdam Siliwangi untuk meninggalkan Bogor dan Pangdam Jaya untuk memasuki wilayah Jakarta dalam rangka berobat ke Rumah Sakit Carolus, misalnya. Lebih parah lagi, sesudahnya harus menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso.

Titik balik perubahan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru atau dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang ditandai dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Soekarno ke Soeharto, panjang dikisahkan Sidarto dalam buku itu.

Pada bagian lain mempersoalkan kenapa wajah Soekarno pada saat proklamasi kemerdekaan dihilangkan pada sebuah buku yang ditulis sejarawan yang juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam terjemahan buku Cindy Adams terdapat dua paragraf yang tidak ada pada buku asli dalam bahasa Inggris yang mengadu domba Soekarno dengan Hatta dan Sjahrir.

Sidarto juga mengingatkan bahwa Trikora dicanangkan Presiden Soekarno di Yogyakarta dan setelah itu memang terjadi operasi militer, namun peran diplomasi yang dijalankan Soekarno sangat menentukan terutama dengan memainkan kartu Uni Soviet dan Amerika Serikat sehingga Belanda tidak berkutik.

Diceritakan pula dalam buku itu bahwa pada 10 Desember 1967 saat Soekarno sudah mengalami penahanan rumah, Sidarto menerima hadiah buku dari Bung Karno yang diberi catatan dengan tulisan tangan "Untuk Sdr. Sidarto, dalam edisi Indonesia dari buku ini, saya menulis: ManTotet den Geistnicht (Freiligrath), yang artnya: Djiwa, ide,ideologi,semangat,ta'''' dapat dibunuh, Soekarno, 10/12-67". Sidarto terharu atas kalimat tulisan tangan oleh ayahanda Megawati tersebut.

Selepas tugas negara sebagai ajudan Bung Karno, Sidarto melanjutkan sekolah kedinasan di Sekolah Staf Komando Kepolisian RI (Seskopol) pada 1969-1970.

Dalam kepemimpinan di Polri, Sidarto pernah menjabat Kepala Polres Tangerang pada 1974-1975, Kepala Dinas Penerangan Polri pada 1975-1976, Kepala Interpol pada 1976-1982. Saat menjabat Kepala Interpol, Sidarto berkesempatan mengikuti Sekolah Staf Komando Gabungan (Seskogab) di Bandung pada 1977.

Kemudian Sidarto melanjutkan karirnya di kepolisian sebagai Kepala Satuan Komapta Polri pada 1982-1985, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 1985-1986, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Bagian Selatan pada 1986-1988, dan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 1988-1991.

Setelah memasuki masa pensiun, Sidarto bergabung ke PDI Perjuangan dan menjadi Wakil Rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat untuk Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009.

Memahami Persoalan Bangsa

Berbagai kelangan menyambut baik jabatan baru yang diamanatkan kepada Sidarto.

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menilai politisi senior PDI Perjuangan Sidarto Dhanusubroto pantas menduduki jabatan Ketua MPR.

Di DPP PDI Perjuangan, Sidarto menjabat Ketua Bidang Kehormatan Partai.

"Pak Sidarto sejauh yang saya kenal ketika saya masih menjadi Panglima TNI adalah sosok politisi senior yang bertanggung jawab dan memahami persoalan bangsa secara baik," kata Endriartono yang kini aktif di Partai NasDem. Menurut dia, Sidarto juga memiliki visi kebangsaan ke depan dan tidak emosional.

Ketua DPR Marzuki Alie menilai Sidarto merupakan sosok yang tepat menggantikan almarhum Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR.

"Saya kira Pak Sidarto tepat untuk memimpin MPR RI. Beliau dapat bertindak sebagai negarawan dan mampu menjalankan program yang dijalankan Taufiq Kiemas, yakni sosialisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," kata Marzuki Alie.

Menurut dia, pengalaman dan rekam jejak Sidarto sudah teruji sejak menjadi ajudan Presiden Soekarno terlebih pernah bertugas sebagai Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR. "Bobot kenegarawanan Pak Sidarto tidak diragukan lagi," ucap Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu

Wakil Ketua MPR RI Melani Leimena Suharli secara pribadi mengapresiasi Sidarto. "Secara pribadi saya menilai, Pak Sidarto cocok menjadi Ketua MPR. Beliau politisi senior dan memiliki kapasitas mumpuni," ujarnya. Ia yakin Sidarto mampu mengayomi seluruh fraksi dan golongan sehingga tidak ada perbedaan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di MPR.

"Semoga beliau bisa seperti Pak Taufiq yang membuat MPR tidak ada faksi-faksi, yang ada hanya fraksi ''''Empat Pilar''''," tutur perempuan berjilbab itu berharap sambil tersenyum. (*)