Pembuktian Terbalik dan HAM

id Pembuktian Terbalik dan HAM

Pembuktian Terbalik dan HAM Oleh Zennis Helen Pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 11 Tahun 2011 tentang Percepatan Penuntasan Kasus Mafia Hukum dan Mafia Pajak mendorong aparat penegak hukum menerapkan asas pembuktian terbalik dalam penanganan kasus Gayus HP Tambunan. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pengembalian uang negara dan memberikan efek jera yang signifikan, (Kompas, 25 Februari 2011). Asas pembuktian terbalik pada dasarnya adalah pembalikan beban bukti, jika selama ini kewajiban pembuktian dalam setiap proses peradilan pidana berada pada aparatur pemerintah yang diberi kewenangan untuk itu, yaitu jaksa penuntut umum. Asasnya adalah, bahwa karena jaksa penuntut umum yang mendakwa seseorang, maka dialah yang harus membuktikannya (actory incumbit onus probandi). Dalam konteks asas ini bahwa seorang terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian sebagai manifestasi dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Namun asas ini beda halnya dengan pembuktian terbalik, kewajiban pembuktian dialihkan kepada tangan terdakwa yang secara aktif di persidangan dan berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan jaksa penuntut umum dan majelis hakim bahwa segala harta yang ia miliki didapat melalui cara- cara yang syah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika sebaliknya, tidak mampu ia buktikan, maka dituntut bersalah secara hukum dan akan dikenai hukuman penjara dan harta dikembalikan pada negara. Pembuktian terbalik lagi-lagi bukan barang baru dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Asas ini telah digunakan juga dalam persidangan mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bahasyim Assifie yang divonis 10 tahun penjara karena tidak mampu membuktikan asal usul kekayaannya sebanyak 66 miliar yang akhirnya disita oleh negara. Padahal, berdasarkan pasal 77 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dia diminta pengadilan untuk membuktikan asal kekayaannya namun dalam persidangan, ternyata tidak mampu ia buktikan. Bagi seorang Bahasyim membuktikan asal usul kekayaannya memang tidak mudah, apalagi tindak pidana pencucian uang yang ia lakukan sudah berlangsung bertahun-tahun, dan didapat secara illegal sehingga tidak diketahui lagi siapa pemilik awalnya. Begitu juga halnya dengan jaksa penuntut umum. Proses penemuan bukti-bukti dalam penyelenggaraan peradilan pidana, bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi dalam perkara tindak pidana korupsi yang cenderung complicated. Ketidakmudahan itu terutama sekali disebabkan karena pekerjaan tersebut mengandung substansi yang lebih dalam lagi dari pada hanya sekedar mencari dan mengumpulkan bukti-bukti. Aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada berbagai kondisi yang terletak diseputar perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak tersangka atau terdakwa . Artinya, dalam mewujudkan due process of law aparat penegak hukum harus memperhatikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang secara normatif mesti mendapat tempat dalam sistem peradilan pidana. Pisau bermata dua Guna mengeliminasi kesulitan pembuktian perkara tindak pidana korupsi tersebut maka aparat penegak hukum didorong untuk menerapkan asas pembuktian terbalik dalam kasus-kasus yang tergolong sangat kompleks. Namun penerapan asas pembuktian terbalik ini sangat riskan terjadinya pelanggaran HAM terdakwa yang semestinya harus dilindungi, dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara tanpa ada diskriminasi. Agar pelanggaran HAM tidak terjadi dalam penerapan asas tersebut maka diperlukan adanya pembatasan-pembatasan yang argumentatif, baik secara teoritik maupun praktek untuk menjustifikasi penerapannya dalam kebijakan legislasi. Bukan tidak mungkin, dalam prakteknya akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa, padahal tujuan utama adanya hak-hak tersebut adalah untuk mengakui dan menjamin harkat dan martabat manusia (human dignity), baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pembalikan beban pembuktian atau omkering van de bewijslast diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi digunakan untuk mengatasi kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para pelaku korupsi ke hadapan proses peradilan pidana, tetapi di sisi lain, sangat berisiko terjadinya pelanggaran HAM bagi terdakwa sebagaimana yang telah dijamin oleh UUD 1945 yang mengatur persoalan HAM, dan menjadi syarat terbentuknya negara demokrasi konstitusional, yakni adanya perlindungan HAM warga negara, serta ditindaklanjuti dalam dua bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat berbagai ketentuan yang mengatur secara eksplisit perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak tersangka dan hak-hak terdakwa, yang kesemuanya berkaitan dengan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam bidang hukum, setidak-tidaknya terdapat 10 asas yang merupakan wujud perlindungan hak-hak warga negara dalam proses peradilan pidana Ke sepuluh asas tersebut adalah, perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun, praduga tidak bersalah, pelanggaran atas hak-hak individu warga negara (dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah, seorang tersangka berhak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya, seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasehat hukum, seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan, adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana, peradilan harus terbuka untuk umum, tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti kerugian) dan rehabilitasi, dan adanya kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Dianutnya sistem pembuktian terbalik tersebut dianggap telah mengingkari asas-asas yang bersifat universal, diantaranya adalah asas praduga tak bersalah. Diterapkannya asas ini dalam proses peradilan pidana dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam bidang hukum yang mencakup empat hal, Pertama, perlindungan terhadap kesewenang-wenangan pejabat negara, Kedua, pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa, Ketiga, sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia), Keempat, bahwa tersangka dan terdakwa harus diberi jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya. Berpotensi Melanggar HAM Penerapan asas ini berpotensi melanggar HAM terdakwa yang justru akan menciderai kontitusi dan demokrasi, oleh karena itu aparat penegak hukum tidak perlu takut akan tuduhan melanggar HAM namun yang diperlukan adalah sikap kehati-hatian aparat penegak hukum dalam penerapan asas ini. Karena tidak tertutup kemungkinan seseorang yang memang memeliki kekayaan yang syah, namun karena keterbatasan pengetahuan hukum yang dimiliki menyebabkan ia tidak mampu menjelaskan sumber kekayaannya secara sempurna, sehingga ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Artinya, keterbatasan kemampuan untuk membuktikan itu pula yang mengakibatkan seseorang yang semestinya secara faktual tidak bersalah (factual guilt) mesti berhadapan dengan pemidanaan (Baharuddin Lopa, 1997). Namun, politik hukum pidana Indonesia tidak perlu terlalu terpaku dalam pertimbang-pertimbangan HAM semata, yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor untuk berlindung dibalik penegakan HAM dan melepaskan diri dari jagkauan hukum pidana . Disadari bahwa perbuatan korupsi yang mereka lakukan juga merupakan bagian dari pelanggaran HAM jutaan rakyat Indonesia. Anak-anak miskin di pedesaan putus sekolah, karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan, petani-petani banyak yang beralih ke profesi lain karena kesulitan modal, jumlah pengangguran bertambah akibat tidak ada lapangan pekerjaan, angka kriminalitas bertambah tinggi, bunuh diri terjadi di mana-mana karena tidak mampu menanggung beban hidup. Kita tidak dapat lagi mengelak untuk tidak mengatakan bahwa korupsi itu tergolong sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, karena itu asas pembuktian terbalik sangat perlu digunakan dalam rangka memberikan efek jera kepada koruptor yang pengempang uang rakyat, jika diperlukan diatur secara khusus dalam kebijakan legislasi. Aparat penegak hukum harus menjaga keseimbangan antara kepentingan terdakwa dengan kepentingan masyarakat yang sama-sama dilindungi oleh hukum. Semoga. Penulis adalah Wartawan LKBN antara-sumbar Perwakilan Pasaman.