Nyanyian dan Video Klip ke Runtuhan Hukum

id Nyanyian dan Video Klip ke Runtuhan Hukum

Lagu dan video klip ciptaan Bona Paputungan seorang warga Gorontalo dan juga mantan napi yang berjudul Andai Aku Jadi Gayus telah beredar luas di tengah masyarakat, telah menjadi komsumsi publik. Dalam lagunya Bona menceritakan bagaimana ketidakadilan yang ia terima ketika dalam penjara, dibandingkan dengan Gayus HP Tambunan seorang pegawai golongan IIIA di Direktorat Jendral (Dirjen) Pajak, yang diperlakukan bak raja oleh aparat penegak hukum yang hoby makan uang suap, dengan perlakuan yang sangat istimewa dan fasilitas yang serba mewah. Agaknya, perlakuan yang tidak adil tersebut menginspirasi Bona untuk berkarya menciptakan lagu dan video klip yang membuat mata kita terbelalak, bahwa aparat penegak hukum belum menegakkan hukum dengan baik, dan adil di negeri ini. Perdagangan hukum dalam segenap sistem peradilan pidana (criminal justice system) kian merebak. Seolah-olah keadilan adalah milik orang yang kaya, dan punya segepok uang. Orang miskin yang tersandung dengan masalah hukum tidak akan mendapatkan fasilitas, di tengah sistem hukum yang koruptif. Sistem peradilan pidana yang dimaksud adalah, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan. Keempat bejana penegakan hukum ini tidak ada yang bersih dari praktek mafia hukum, mereka bergelimang dengan praktek mafia tersebut. Pernyataan yang dilontarkan elit hukum selama ini hanya sebagai pemanis bibir saja, atau retorika tanpa ada tindakan yang berarti dalam menegakkan hukum. Artinya, bagaimana mereka akan menegakkan hukum, jika mereka merupakan bagian dari persoalan yang ingin dituntaskan tersebut. Keruntuhan Hukum Karya Bona dalam lagu dan video klip tersebut telah menggambarkan realitas penegakan hukum pada saat ini. Hukum kita gampang dibeli, asalkan ada uang untuk menyogok aparat penegak hukum. Jika ingin keluar dari penjara yang dijaga ketat sekali pun, untuk pergi ke Bali, Macau, Singapura atau hanya untuk main judi, dan mengamankan aset yang berada di luar negeri, cukup dengan memberikan uang ke petugas sipir penjara, maka boleh keluar asalkan kembali lagi. Lebih tragis lagi, Gayus dapat mengurus paspor dari penjara. Dalam logika masyarakat awam tidak akan masuk di akal. Bagaimana seorang Gayus dapat paspor dengan harga miliaran rupiah, jika tidak ada permainan dengan petugas imigrasi. Namun, Gayus dengan sangat mudah mendapatkan paspor tersebut, dengan rambut pakai wig, kacamata. Padahal, berdasarkan prosedur yang berlaku, untuk foto di paspor tidak boleh pakai wig, dan kacamata, dan harus menunjukkan wajah asli, namun lain halnya dengan Gayus, semua prosedur tersebut ia terabas dengan kekuatan uangnya, dan rahasia pengemplang pajak yang ada padanya, ia berkolaborasi dengan aparat penegak hukum bermental suap dan koruptif. Tapi bagaimana dengan Bona bona lain di Indonesia, jika ingin keluar tidak punya uang, untuk menyuap aparat penegak hukum. Apalagi untuk membayar pengacara membela kepentingan hukum di persidangan, tentu saja tidak ada. Maka rasakanlah bagaimana pengapnya ruangan penjara, udara kotor, nyamuk banyak. Sepintas lagu Bona tersebut memberikan pelajaran bagi orang miskin di negeri ini agar tidak berurusan dengan hukum. Berjalanlah diatas aturan yang benar, dan jangan berbuat salah, karena sekali anda terjerumus dalam kubangan hukum tersebut maka menderita untuk selamanya, kecuali pakai uang dan kekuasaan. Karya Bona boleh juga merupakan semacam kritik dalam dunia penegakan hukum negeri ini. Bagaimana hukum tersebut runtuh ditangan para mafia yang menguasai pundi-pundi uang. Hukum menghamba pada mafia yang menguasai sumber daya ekonomi, hukum tidak punya taring untuk menerkam para mafia yang bergelayut dengan kekuasaan. Polisi, jaksa, pengadilan, lembaga pemasyarakatan tidak dapat diharapkan lagi untuk memberikan kepastian dan rada keadilan di tengah-tengah masyarakat. Kemana lagi masyarakat kecil akan mengadu, ditengah system penegakan hukum yang kental dengan praktek mafia hukum. Lembaga pemasyarakatan yang seyogianya tempat pembinaan para Narapidana agar dapat hidup lebih baik dan mempunyai masa depan yang cerah, dan memberikan efek jera pada pelaku agar tidak mengulangi perbuatan di masa mendatang. Ternyata tujuan mulia tersebut sangat jauh panggang dari api, yang terjadi sesungguhnya adalah, lembaga pembinaan Napi tersebut telah berlangsung praktek gelap, transaksi keuangan antara para Napi berduit dengan petugas sipir penjara telah berlangsung secara sistematis, terselubung, dan sulit diungkap jejaringnya. Tidak usah jauh untuk mengambil contoh, bagaimana Gayus dapat melenggang ke Bali dan keluar negeri, itu adalah karena adanya kerjasama yang sangat intim dan rapi antara petugas sipir penjara dengan Gayus. Bahkan, di LP tersebut berlangsung praktek pertukaran Napi di LP Bojonegoro Jawa Timur, Napi yang sebenarnya, Kasiem, terpidana kasus penggelapan pupuk ditukar dengan orang lain yang bernama Karni yang masuk penjara dengan cara dibayar dengan uang sebesar Rp 20 juta. Praktek ini lagi-lagi melibatkan petugas sipir penjara, staf kejaksaan, pengacara. Sejauh ini tindakan dari Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung belum bersifat konkrit, dan tegas untuk kasus yang menghebohkan jagad hukum pada permulaan tahun 2011. Tindakan Kementrian Hukum dan HAM dengan membuat tim untuk mengusut siapa dalang dibalik itu, patut diacungi jempol. Namun perlu diingat, shock terapy yang dilakukan tidak cukup hanya sekedar mencopot pimpinan Lapas dengan menganti pimpinannya yang belum tentu juga bersih dari praktek haram tersebut. Yang diperlukan sesungguhnya adalah tindakan super tegas dari Kementrian Hukum dan HAM terhadap bawahannya yang bermain dengan mafia ini. Kapan perlu dicopot dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), dipenjarakan agar mereka jera melakukan perbuatan tersebut. Jangan Diteror Karena karyanya itu Bona diteror oleh orang yang mengaku dari Pasukan Densus 88 Anti Teror. Kepolisian Gorontalo menjamin keselamatan Bona, dan melakukan penyelidikan atas teror yang dialami. Jika dilihat dari nada ancaman tersebut, penulis tak yakin dari Tim Densus 88, karena apa hubungannya dengan Densus. Seingat penulis, Densus hanya dibentuk untuk menangkap actor teroris, dan bukan untuk meneror seorang Bona yang tidak punya kaitan sama sekali dengan kasus Gayus. Bona jangan diteror, karena kemerdekaan untuk menyampaikan usul dan pendapat, termasuk kritik telah dijamin oleh konstitusi, yakni pasal 28 UUD 1945 (asli), segala teror harus dihapuskan dalam alam demokrasi ini, jalan dialog harusnya lebih diutamakan ketimbang meneror, karena teror itu juga akan mengancam kemerdekaan menyampaikan pendapat dan kritik oleh masyarakat terhadap penyelenggara negara. Kritik social tidak hanya disampaikan lewat berdemontrasi, menulis namun bisa disampaikan lewat lagu sehingga akan menyadarkan aparat penegak hukum untuk berjalan sesuai dengan hukum tanpa mengorban keadilan dan kepastian hukum. Karya Bona adalah nyanyian dan video klip runtuhnya penegakan hukum di negeri ini, barangkali dengan menyanyi dan video klip yang membuat aparat penegak hukum kita sadar agar tidak memperdagangkan hukum lagi. Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bertugas untuk mengkoordinasikan penegakan hukum dengan intitusi penegak hukum lain ternyata belum juga mampu berbuat banyak untuk menegakkan hukum, walaupun nakhoda baru pimpinan lembaga tersebut telah terpilih, Busyro Mukoddas namun praktek korupsi terus berjalan dengan liarnya disetiap bejana penegak hukum. Satu ucapan untuk Bona, jangan pernah berhenti berkarya Bona, jangan takut dengan teror, mungkin dengan cara itu aparat penegak hukum berhenti berdagang hukum.

* Penulis Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang dan Wartawan Perum LKBN Antara Sumbar Perwakilan Kabupaten Pasaman.