Jorong Sungai Janiah, Nagari Tabek Panjang, Kecamatan Baso, Kabupaten
Agam, Sumatra Barat, sudah lama terkenal memiliki legenda "ikan sati"
atau "ikan sakti".
Di lokasi yang terletak 3,5 kilometer dari simpang sebelum Pasar Baso,
Kabupaten Agam, tepi jalan raya Bukittinggi-Payakumbuah, 97 kilometer
dari Kota Padang, telah lama dijadikan objek wisata alam yang mengandung
nilai cerita rakyat (legenda) Minangkabau.
Wisatawan yang datang berasal dari daerah sekitar Agam, Bukittinggi dan
Payakumbuah. Ada juga yang berasal dari Kota Padang. Akses jalan menuju
lokasi wisata tersebut cukup bagus dengan jalan aspal beton, sehingga
memudahkan wisatawan untuk berkunjung.
Muatan legenda yang ada pada objek wisata kolam ikan itu sangat tersohor khususnya bagi masyarakat di tiga daerah itu.
Objek wisata kolam ikan yang dikatakan memiliki "ikan sakti" itu berada
tepat di antara Mesjid Darul Amal dan kaki Bukit Batanjua, Jorong
(desa) Sungai Janiah. Kolam ikan dengan luas sekitar 60 meter persegi
itu, sarat dengan cerita sejarah kejadian yang berada dalam ruang
lingkup nyata dan fiksi.
Seorang pemuka masyarakat Jorong Sungai Janiah, Jamaan Tuanku Mangkuto
Sati (57), mengatakan, sejarah terjadinya kolam ikan itu mencakup dua
versi yang berbeda satu sama lain.
Ia mengatakan, versi pertama dikutip dari buku sederhana karangan
Kepala Seksi Pariwisata Ikan Sati Sungai Janiah, C. Panggulu Basa, bahwa
sepasang ikan yang dianggap sakti itu merupakan kutukan dari anak
seorang pemuka masyarakat di daerah itu, akibat perseteruan manusia
dengan bangsa jin.
Ia melanjutkan, versi lainnya dari Muchtar Tuanku Sampono (96 tahun),
tokoh masyarakat Sungai Janiah, bahwa ikan di kolam Sungai Janiah itu
tidak sakti, dalam artian tidak memiliki kesaktian tertentu.
Menurut Muchtar, ikan tersebut konon berasal dari sepasang anak yang
hilang. Malam harinya ibu anak hilang itu bermimpi agar dibuat nasi
kunyit (nasi kuning) dan dipanggil anaknya di Sungai Janiah. Namun saat
dipanggil, yang datang adalah sepasang ikan yang hingga kini masyarakat
menyebutnya ikan Gariang.
Namun, lain lagi pemaparan Jamaan Tuanku Mangkuto Sati kepada ANTARA.
Bendahara Mesjid Darul Amal (1990-2008), Jorong Sungai Janiah, itu
menyebutkan, "ikan sati" itu berasal dari sebuah sumur kecil di sebuah
ladang di kaki Bukit Batanjua (saat ini menjadi kolam ikan di belakang
Mesjid Darul Amal).
"Si ibu bermimpi, bahwa sepasang anaknya yang hilang itu ada di sumur
kecil di kaki Bukit Batanjua, namun ketika dijumpai, terlihat sepasang
ikan yang sebelumnya tidak pernah ada di sumur itu," kata Jamaan.
Menurut dia, dari sumur kecil itu sepasang "ikan sati" terus berkembang biak, sehingga jumlahnya semakin banyak.
Ia mengatakan, masyarakat sekitar kala itu (sebelum kedatangan Belanda
ke Sumbar) terus melebarkan sumur itu hingga saat ini memiliki luas 60
meter persegi yang menampung ribuan ekor ikan Gariang.
Ribuan ikan berbagai ukuran itu--mulai ukuran 40 CM hingga 80
CM--memiliki berat sekira 8-15 kilogram. Bahkan ada yang berukuran
panjang hingga dua meter.
"Namun, ikan sepanjang dua meter itu hanya muncul pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari besar Islam," ujarnya.
Sejak dulu tidak ada yang berani memakan ikan dari kolam itu, karena
dianggap seperti memakan manusianya saja, bahkan Belanda dan Jepang pun
tidak berani menjamah ikan tersebut.
Bahkan ketika masa PDRI di Sumbar, ada yang mencoba mengonsumsi ikan
itu, namun ketika diolah, daging ikan tersebut mencair seperti minyak
dan hanya tinggal tulang saja, katanya.
Apakah cerita-cerita itu benar atau tidak? Yang jelas legenda ikan
sakti Jorong Sungai Janiah itu, saat ini berubah menjadi investasi bagi
masyarakat di Jorong Sungai Janiah dan mendatangkan manfaat melalui
wisatawan yang berkunjung ke objek wisata alam itu.
Jamaan mengatakan, pada hari biasa pengunjung berkisar antara 50 hingga
70 orang. Pada hari Minggu, katanya, pengunjung bisa mencapai 200
hingga 300 orang.
"Sedangkan saat hari libur nasional pengunjung bisa mencapai 400 hingga 500 orang," katanya.
Petugas karcis masuk objek wisata itu mengatakan dengan harga karcis
Rp2.000 bagi orang dewasa dan Rp1.000 bagi anak-anak, dalam sebulan
pihaknya nbisa mengumpulkan pendapatan sebesar lebih kurang Rp3,5 juta
per bulan.
"Semua pendapatan itu dimanfaatkan untuk membangun Mesjid Darul Amal," katanya.
Ia mengatakan, pengelolaan objek wisata yang telah ada sejak 90 tahun
lebih itu dilakukan secara bersama oleh masyarakat sekitar dan dibantu
oleh perangkat pemerintahan di Jorong Sungai Janiah.
Hasil dari pengelolaan objek wisata itu bermanfaat besar bagi
perkembangan sarana dan prasara umum di daerah itu, khususnya rumah
ibadah.
Mesjid Darul Amal yang telah ada sejak masa penjajahan Belanda itu,
katanya, baru dibangun dengan konstruksi permanen pada awal 2000, yang
sebelumnya masih dalam bentuk semi permanen.
"Secara bertahap, melalui partisipasi masyarakat sekitar, pembangunan
Mesjid Darul Amal kini telah menelan dana lebih kurang Rp1,5 miliar,
tanpa mengandalkan bantuan dari pemerintah daerah," katanya.
Mesjid Darul Amal itu berdiri di atas tanah 30 meter persegi, saat ini
memiliki dua lantai sebagai ruang ibadah, berdinding keramik luar dalam,
berpagar "stainless steel."
"Suatu kebanggaan bagi masyarakat, karena saat ini memiliki Mesjid megah," kata Jamaan.
Perekonomian meningkat
Sejak adanya objek wisata ikan sakti itu, perkonomian masyarakat sekitar meningkat.
Upik (42), seorang pedagang makanan, mengatakan hasil berjualan di
lokasi wisata itu sangat membantu perekonomian keluarganya.
"Saya bisa memperoleh untung RP40 ribu hingga Rp50 ribu per hari," kata ibu tiga orang anak itu.
Jika pada hari libur nasional penghasilannya bisa mencapai Rp100 ribu per harin.
Selain itu, Rahmat (20), pemuda sekitar Jorong itu, mengatakan dari
pungutan parkir ia bisa memperoleh penghasilan Rp30 ribu hingga Rp40
ribu per hari.
Objek wisata alam itu tidak hanya mendatangkan
keuntungan ekonomis bagi masyarakat sekitar. Bagi pengunjung yang
datang, juga merasakan kepuasan berwisata alam yang berbeda dari yang
lain.
Wisatawan yang datang tidak hanya disambut oleh keramahan masyarakat
sekitar, namun juga oleh ribuan "Ikan Sakti" yang tak malu-malu
menghampiri tangan pengunjung ketika menyuguhkan kacangan, mansie atau
lokan (karang kecil) dan sejenis makanan kecil lainnya, langsung dari
tangan pengunjung.
"Saya dapat merasakan bagaimana ikan tersebut mengambil makanan dari
telapak tangan saya dengan lembutnya," kata Rudi (25), seorang
pengunjung asal Kota Padang.
Pengunjung lainnya justru terpesona dengan gerak lembut ikan-ikan itu ketika menghampiri kumpulan orang di tepi kolam itu.
"Hati saya merasa nyaman ketika melihat gerak lembut dari ikan-ikan
seukuran paha orang dewasa itu datang menghampiri kerumunan orang yang
berdiri di tepi kolam," kata Tika (30), pengunjung asal Kota
Bukittinggi. (*/wij)
Berita Terkait
Gubernur: Alumnus Fakultas Pertanian Unand kontribusi bangun pertanian
Rabu, 24 April 2024 5:31 Wib
BI Sumbar harap cinta Bangga Paham Rupiah masuk kurikulum di Mentawai
Selasa, 23 April 2024 16:02 Wib
Pemerintah daerah antisipasi penggunaan mata uang asing di Mentawai
Selasa, 23 April 2024 12:49 Wib
Bank Indonesia jangkau daerah 3T untuk edarkan uang baru
Selasa, 23 April 2024 10:53 Wib
Rupiah Selasa pagi turun 7 poin menjadi Rp16.244 per dolar AS
Selasa, 23 April 2024 9:47 Wib
Rupiah Senin pagi naik 45 poin menjadi Rp16.215 per dolar AS
Senin, 22 April 2024 9:13 Wib
Sepekan, harga BBM imbas Iran-Israel hingga langkah BI jaga rupiah
Minggu, 21 April 2024 8:36 Wib
Ekspedisi Rupiah Berdaulat bantu percepat pertumbuhan ekonomi Mentawai
Jumat, 19 April 2024 18:29 Wib