Kado Ulang Tahun

id Kado Ulang Tahun

Negara Malaysia kembali mengusik perasaan nasionalisme dan kebangsaan kita sebagai sebuah bangsa yang utuh dan berdaulat. Tidak tanggung-tanggung, negara Malaysia semakin nekad, tidak saja mencaplok wilayah negara Indonesia di daerah perbatasan namun telah berani menahan tiga pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia yang mengusir nelayan Malaysia dari perairan laut Indonesia karena diduga memasuki perairan Indonesia untuk mencuri ikan. Konflik antara Malaysia dan Indonesia telah sering kali berulang. Beberapa waktu lalu Malaysia mengklaim beberapa kesenian tradisional Indonesia menjadi miliknya, misalnya, tari Pendet dari Bali, Rendang Padang, Reog Ponorogo, dan lagu Rasa Sayange. Tidak hanya itu, buku-buku kuno sastra Melayu mereka jadikan target. Deretan kasus ini merupakan serangan frontal terhadap harga diri dan harkat martabat bangsa. Dan telah menganggu keutuhan dan identitas bangsa, salah satu dari unsur identitas tersebut adalah budaya. Masyarakat Indonesia yang sering dianggap sebagai saudara tua benar-benar terlihat letih sehingga sering dipermainkan oleh sebagian saudara mudanya yang tidak mengenal etika dalam pergaulan dengan mengklaim kepunyaan orang lain sebagai milik sendiri. Entah apa yang terjadi dengan Malaysia. Tidak hanya sampai di situ, tapi ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sering kali dianiaya oleh majikan di Malaysia. Penganiayaan tersebut bahkan membawa korban jiwa dan cacat seumur hidup. HUT RI Momentum tindakan Malaysia yang menangkap tiga orang pegawai DKP terhadap Indonesia sungguh telah mencoreng derajat dan martabat kita sebagai bangsa. Betapa tidak, kasus ini mencuat tidak lebih dari lima hari jelang Hari Ulang Tahun (HUT) kmerdekaan Republik Indonsia yang ke 65. Banyak kalangan berpendapat, kasus ini adalah kado bagi HUT RI yang ke 65 tersebut. Jika prediksi tersebut benar, maka peringatan hari bersejarah dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan negara tersebut seolah-olah telah tercoreng dan kehilangan substansinya. Entah sengaja atau tidak, namun yang jelas ini merupakan tamparan keras bagi bangsa Indonesia yang telah gagal mengamankan daerah perbatasan dengan sistem keamanan yang tidak ketat. Tidak jarang, aparat keamanan yang menjaga wilayah perbatasan ditembak oleh negara tetangga, tanpa ada proses hukum yang jelas juntrungannya. Sayangnya, Presiden Susilo Bambang Yudhyono tidak menyinggung hal ini dalam pelaporan APBN tahun 2011 di Gedung Parlemen, Senin, (16/8) lalu. Penyampaian pidato APBN tidak menyentuh akal persoalan dalam masyarakat dan cenderung normatif. Pemerintah lebih banyak membahas pujian untuk diri sendiri, ketimbang secara sungguh-sungguh membahas penderitaan rakyat yang tidak tahu ujungnya. Pemerintah terkesan paradoks, di satu sisi ingin memainkan peran yang lebih maksimal dalam bidang pertahanan namun di sisi lain pemerintah sangat berbenturan dengan realitas pragmatis yang terjadi di lapangan. Buktinya, penangkapan ikan di lokasi perairan laut Indonesia oleh para nelayan Malaysia tidak menjadi sesuatu yang substansi dalam laporan keterangan Presiden di hadapan paripurna DPR/DPD. Beberapa DPRD kabupaten/Kota di Indonesia ada yang tertidur ketika Presiden SBY berpidato, atau asyik main dengan telpon selulernya. Aksi tidurnya anggota DPRD ketika berpidato tersebut, setidaknya, menimbulkan asumsi-asumsi yang kurang baik. Disebabkan karena faktor puasa, atau yang sampaikan oleh pemerintah di hadapan sidanf paripura tersebut tidak ada kemajuan sama sekali, dan lebih banyak program semu ketimbang program yang betul- betul berpihak pada rakyat msikin. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih kurang. Padahal, pendidikan ujung tombak pembangunan bangsa ini sangat urgen ditengah persaingan hidup yang sangat global. Banyak kalangan menilai, Malaysia mengalami inferior komplek yang luar biasa tanpa mereke sadari akibat pengekangan berekspresi di negara ini. ISA (internal security act) masih menjadi belenggu politik dan hukum di Malaysia. Kreatifitas tidak tumbuh (Edi Prasetyono, Kompas, 26/8/2009). Pengekangan berekspresi tersebut menimbukan penyakit yang kuat untuk mengambil hak milik orang lain. Di Indonesia kebebasan bereskpresi jauh lebih bebas ketimbang di negara Malaysia. Konsep- konsep dan pemikiran kita tentang kemerdekaan dan nasionalisme jauh mendahului mereka, bahkan termasuk yang paling awal di kapangan pergerakan bangsa bangsa terjajah. Nilai-nilai pemikiran tersebut terinternalisasi menjadi dorongan besar untuk melakukan demokrasi dan reformasi di Indonesia yang digerakkan oleh para pemuda dan mahasiawa. Batas Negara Pada pokoknya, pertikaian antara negara Indonesia dengan negara Malaysia adalah terkait dengan batas negara kedua negara, baik yang berbatasan dengan darat dan laut. Batas negara sangat penting dalam menentukan kedaulatan dan keamanan nasional suatu negara. Bahkan, batas negara memeilki posisi penting dalam politik luar negari sebuah negara. Negara yang tergolong negara berkembang, masalaah batas negara belum dapat dikelola dengan baik bahkan menjadi satu indikator bahwa negara tersebut sangat lemah dan gagal (failed state). Hal ini dapat ditandai dengan ketidakmampuan negara berkembang untuk menjaga secara fisik wilayah perbatasannya. Kesejahteraan penjaga wilayah perbatasan juga merupakan persoalan yang membawa rumitnya persoalan batas negara. Namun anehnya, pertikaian negara Indonesia dengan Malaysia selalu saja terulang kembali dan hampir saja terjadi setiap tahun. Bukankah ini disebabkan oleh tidak tuntasnya kita menangani sebuah persoalan, kemudian persoalan yang sama muncul kembali. Bahkan freksueni persoalan tersebut makin berat. Saat ini baru tiga warga negara kita yang ditahan, besok apa lagi. Tidak tuntasnya kita membahas dan menyelesaikan suatu persoalan maka besar kemungkinan persoalan yang sama akan terulang kembali. Diplomasi yang kita mainkan selama ini ternyata belum mampu menhentikan konflik antar kedua negara secara permanen. Ke depan, masih layak cara diplomasi di pakai, sementara itu negara Malaysia tersebut tidak pernah jera-jeranya menguras kekayaan alam Indonesia. Harus Tegas Melihat maraknya dan frekuensi kasus antara negara Indonesia dengan Malaysia, tampaknya cara diplomasi tidak mempan lagi dilakukan. Tidak akan menimbulkan efek jera bagi aparat diraja Malaysia untuk bermain di perairan laut Indonesia dengan menguras seluruh isinya demi keuntungan pribadi dan kelompok. Tindakam tegas harus lahir dari seorang Presiden yang berani menutup hubungan diplomatik dengan pemerintah Malaysia demi harga diri sebuah bangsa. Pola hubungan luar negeri yang bebas, aktif, dan prograsif dikira tidak relevan lagi dalam konteks hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Langkah maju dan berani sangat diharapkan dari seorang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaantang Malaysia dengan tegas, kapan pelu dengan jalan perang agar pemerintah Malaysia tidak semena-mena terhadap asset dan kekayaan alam Indonesia. Dan perang juga merupakan alternatif terakhir, namun yang tak kalah penting adalah, Malaysia harus dibuat jera kaali ini sehingga tidak lagi melakukan penghianatan terhadap kedaulatan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut negara ini sangat membutuhkan pemimpin yang berkarakter, dan cepat mengambil keputusan bukan pemimpin yang lamban dalam menangani segala persoalan yang mendesak oleh rakyat untuk dituntaskan. ***Penulis adalah Wartawan LKBN Antara-sumbar.com dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang.