Indonesia Harus Kembali Fokus ke Swasembada Pertanian

id Indonesia Harus Kembali Fokus ke Swasembada Pertanian

Jakarta, (Antara) - Bila mengingat tentang keberhasilan sektor pertanian Indonesia, maka salah satu peristiwa yang harus disebut adalah pada 1984 saat Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dan mendapat penghargaan FAO tahun berikutnya.

Hal tersebut dinilai antara lain karena keberhasilan penerapan Revolusi Hijau di banyak negara berkembang terutama di Asia sejak tahun 1950-an sampai 1980-an yang mampu meningkatkan produksi makanan polol di sejumlah daerah seperti padi di Filipina dan Indonesia.

Selain itu, di Indonesia pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) juga memiliki rencana pembangunan lima tahun yang menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri di Tanah Air.

Dalam implementasinya, gabungan gerakan Revolusi Hijau dan sasaran Kabinet Pembangunan IV menghasilkan sejumlah program seperti Gerakan Bimbingan Masyarakat dengan meningkatkan produktivitas pertanian melalui penggunaan teknologi serta adanya pembangunan infrastruktur pertanian dan akses kredit.

Kesemua hal tersebut dinilai turut berkontribusi besar dalam membuat Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mampu melakukan swasembada pangan.

Namun, itu terjadi pada tahun 1980-an. Pada saat ini, sektor pertanian di Indonesia kerap dikecam karena dinilai adanya penerapan liberalisasi yang kebablasan.

Contohnya, LSM Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan, liberalisasi di sektor pertanian telah mengakibatkan banyaknya lahan pertanian rakyat yang menyempit karena digantikan dengan pabrik-pabrik industri.

"Kompetisi terbuka dan timpang menyebabkan menyempitnya lahan-lahan pertanian rakyat oleh kegiatan industri," kata Direktur Eksekutif IGJ M Riza Damanik.

Riza mengingatkan, di Indonesia sendiri pada saat ini terdapat sekitar 100 ribu hektare lahan pertanian yang dikonversi atau diubah setiap tahunnya.

Selain itu, menurut dia, liberalisasi dinilai mengakibatkan terpinggirkannya produk pertanian lokal di pasar domestik oleh produk impor.

Apalagi, lanjutnya, nilai impor pangan Indonesia terus tumbuh dari 11 miliar dolar AS pada 2010 menjadi 17 miliar dolar AS pada 2012, serta konflik agraria yang terus meluas.

Liberalisasi juga dinilai menjauhkan pencapaian kedaulatan pangan suatu negara dan hendak menggantikannya dengan memperluas keterlibatan sektor swasta asing melalui instrumen kemitraan publik swasta (PPP) dan sertifikat pangan. "Di Indonesia dua tahun terakhir, sebanyak lebih dari 90 persen investasi di sektor pertanian dan perkebunan, peternakan dan perikanan adalah modal asing," katanya.

Untuk itu, pemerintah didesak untuk melindungi pasar domestik dari liberalisasi perdagangan dan investasi.

Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta pemerintah mengubah orientasi pembangunan ekonomi yang saat ini cenderung liberal menjadi lebih sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

Rapat pleno PBNU di Wonosobo, Jawa Tengah, yang digelar 7-9 September 2013 menilai liberalisasi pembangunan ekonomi telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang semakin ekstrem dimana pertumbuhan yang cukup tinggi dibarengi dengan meningkatnya angka kemiskinan yang sangat tajam.

"Karena itu, pemerintah harus mengubah orientasi pembangunan ekonomi agar sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat membacakan rekomendasi rapat pleno PBNU.

PBNU menilai pembangunan ekonomi nasional hendaknya berpijak pada sumber daya yang ada di tanah air sendiri, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, permodalan, serta teknologi yang berkembang di negeri sendiri.

Kritik larangan proteksi

Selain itu, Direktur Eksekutif IGJ M Riza Damanik juga mengkritik Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang melarang dilakukannya proteksi dengan pemberian subsidi kepada petani.

"WTO hendak mengurangi bahkan mencabut pemberian subsidi bagi petani kita," kata Riza Damanik.

Menurut Riza, alasan WTO melakukan hal tersebut karena pemberian subsidi bagi petani dinilai dapat mendistorsi harga produk pertanian dan perikanan di pasar global.

Padahal, ia menegaskan bahwa pangan dan pertanian adalah bagian hak asasi manusia yang wajib diselenggarakan dan dilindungi oleh negara. "WTO melarang negara melakukan proteksi sektor pertanian," katanya.

Direktur Eksekutif IGJ mengingatkan, sebagian besar kebutuhan pangan bagi dunia termasuk Indonesia berasal dari petani dan nelayan kecil yang membutuhkan insentif dari negara.

Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mendorong agar investasi dalam tata kelola pertanian di Indonesia dilaksanakan secara berkelanjutan serta berwawasan lingkungan demi mencapai swasembada pangan.

"Prinsip produktivitas dan 'sustainability' (keberlanjutan) harus menjadi komitmen bersama, tidak hanya bagi pelaku usaha saja tetapi juga semua pihak, mulai dari masyarakat tak terkecuali pemerintah," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis dan Pangan Franky Widjaja di Jakarta, Sabtu (14/9).

Menurut Franky, pihaknya sedang gencar mendorong optimisme swasembada pangan yang kompetitif di tengah fenomena defisit pangan yang dialami Indonesia akhir-akhir ini. Untuk itu, baik produktivitas maupun efisiensi produksi harus terus ditingkatkan baik yang "on farm" maupun "off farm", begitu pula dengan program diversifikasi pangan harus tetap dijalankan.

Sebagaimana diketahui, Kadin Indonesia Bidang Pangan dan Agribisnis serta Bidang Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan akan mengadakan Rapat Kerja Bersama pada 16-17 September.

Tema yang diajukan dalam acara rapat kerja tersebut adalah "Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Sebagai Kunci Utama Peningkatan Produksi dan Produktivitas Satu Juta Petani melalui Pola Kemitraan Inti-Plasma dengan Dukungan Inovasi Pembiayaan".

Sebelumnya, Institut Pertanian Bogor (IPB) mendesak pemerintah untuk serius membenahi pertanian dengan cara menjadikan sektor pertanian sebagai arus utama pembangunan di Indonesia.

"Apalagi pada 2050, penduduk Indonesia dan dunia semakin besar yang diperkirakan mencapai 9 miliar, dan kebutuhan pangan akan meningkat dua kali lipat dari produksi saat ini," kata Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto di Bogor, Jawa Barat, Kamis (5/9).

Untuk itu, menurut Herry, dibutuhkan kesamaan visi dan kerja bersama dari semua sektor, seperti sektor industri, keuangan, tenaga kerja, teknologi hingga politik.

Sebagaimana diberitakan, Kementerian Pertanian telah meluncurkan Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 sebagai upaya memberikan acuan dan arah pembangunan khususnya di sektor pertanian.

Menteri Pertanian Suswono ketika melakukan peluncuran SIPP 2013-2045 di IPB, Selasa (3/9) menyatakan, Strategi Induk Pembangunan Pertanian tersebut disusun sebagai bagian dari pelaksanaan amanat konstitusi untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur paling lambat pada 2045.

"Visi pembangunan pertanian 2013-2045 yakni mewujudkan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan yang memproduksi anekaragam makanan sehat dan produk-produk yang memiliki nilai tambah dari sumberdaya pertanian maupun kelautan," katanya.

IMF

Bahkan, lembaga keuangan multilateral yang kerap dinilai pendukung gerakan liberalisasi ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta Indonesia lebih meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan membuat prioritas kebijakan yang tepat untuk mengubahnya.

"Indonesia harus membawa lebih banyak produktivitas ke dalam pertanian," kata Advisor IMF Asia and Pacific Department David Cowen dalam diskusi bertajuk "Indonesia-Managing the New Global Norm" di Jakarta, Kamis (29/8).

Untuk itu, ujar dia, tenaga kerja di sektor pertanian juga harus dibawa agar lebih produktif dan menghasilkan aktivitas yang lebih bernilai tambah.

Ia mengingatkan bahwa proporsi ekspor pada saat ini telah berubah, di mana 10 tahun lalu lebih dari 50 persen ekspor menuju AS, Uni Eropa, dan Jepang.

Namun pada saat ini, lanjutnya, negara-negara tersebut dinilai hanya menjadi sepertiga dari sasaran ekspor global karena munculnya sejumlah pasar berkembang lainnya.

"Hal terpenting adalah fokus lebih kepada kebijakan domestik yang dapat memastikan bahwa negara-negara berkembang dapat mengurangi kerentanan yang terjadi akibat kondisi ekonomi global saat ini," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, problem impor meningkatkan permasalahan di sektor pertanian. "Harus dilakukan perubahan," kata Sofjan.

Sebelumnya, Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan bertujuan untuk menghentikan laju konversi lahan.

"Setiap tahun sekitar 110.000 hektare lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Lahan pertanian itu berubah fungsi dari pemukiman sampai peruntukan bisnis," kata Gatot Irianto di sela-sela diskusi panel "Ekonomi Pertanian Memajukan Indonesia" di Jakarta Convention Center (19/8).

Ia mengatakan laju konversi lahan pertanian ini kurang sebanding dengan program cetak sawah baru yang berkisar 20.000-40.000 ha per tahun. Agar pertanian tidak menjadi risiko tinggi yang menyebabkan banyak anak muda di daerah yang ke kota, pihaknya melakukan pertanian berkelanjutan di daerah.

Menurut dia, dengan pertanian berkelanjutan tersebut terjadi keseimbangan pemupukan baik organik dan non-organik. Kedua, sistem persawahan yang terintegrasi dari panen, cadangan, dan pembibitan.

"Diversifikasi pendapatan artinya petani mendapatkan pendapatan dari pemanfaatan kotoran sapi menjadi bio gas, jadi petani tidak hanya mengandalkan hasil panen saja. Lalu, mengurangi risiko pertanian sehingga anak muda di daerah mau bekerja di sektor pertanian," kata dia.

Ia mengatakan seiring dengan membaiknya perekonomian dan pendapatan masyarakat maka tingkat konsumsi komoditas pertanian akan terus meningkat.

Harapan tersebut semoga benar-benar terealisasi dengan nyata agar keberhasilan Indonesia meraih swasembada pangan bukanlah hanya kenangan masa lalu. (*/wij)