Mempertanyakan Keminangan Orang Minang

id Mempertanyakan Keminangan Orang Minang

Mempertanyakan Keminangan Orang Minang

Dirwan Ahmad Darwis. (plus.google.com)

Tulisan ini berangkat dari sebuah keprihatinan yang mendalam dengan niat yang tulus. Tidak ada sama sekali terkandung unsur-unsur yang bersifat politis terkait kepentingan baik untuk pribadi maupun kelompok tertentu.

Keprihatinan yang berawal dari pengamatan terhadap kondisi yang ditampilkan oleh orang-orang Minang dewasa ini, baik yang ada di Ranah Minangkabau sendiri maupun yang berdomisili di perantauan.

Tulisan ini menelaah soal bahasa. Sehingga mungkin saja ada yang bertanya, kenapa bahasa yang dipermasalahkan? Karena bahasa merupakan bahagian terpenting dalam membangun sebuah peradaban. Tentu sulit membayangkan bagaimana rupa kebudayaan pada sebuah bangsa yang bisu.

Peranan bahasa sangat vital dan menentukan dalam menilai baik buruknya perilaku seseorang berikut latar belakang budayanya. Demikian juga tentunya terhadap diri orang Minangkabau, selama ini bahasa dalam banyak hal telah dipakai sebagai sarana untuk membentuk kepribadian/budi pekerti dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan mereka.

Rangkaian bahasa Minang penuh dengan petatah-petitih, pantun-pantun ajaran, sindiran lembut namun dalam maknanya. Sehingga dulu ketika negeri beradat ini masih memegang teguh adat dan budayanya, lahirlah masyarakat yang beradat dan beradab.

Pembangunan karakter berkonsepkan "Nan Ampek" (Nan Empat) adalah contoh pemanfaatan bahasa yang kini sepertinya sudah terlupakan, yang dulu harus diketahui setiap orang Minang sebagai sebuah jati diri.

Ketika itu, Nan Ampek ibarat pakaian bahkan harga diri, ketika ada seseorang mengatakan bahwa kita tidak tau di-Nan Ampek (paja indak tau di nan ampek mah), sekiranya kata-kata itu terdengar/diketahui oleh orang yang dimaksudkan, maka hal ini bisa memicu pertentangan bahkan bisa perkelahian.

Konsep kata-kata Nan Ampek sendiri mengandungi empat unsur bagi setiapnya, banyak sekali sesuai ragam kehidupan, salah satu contoh misalnya untuk tuntunan dalam pergaulan, orang Minang dulu dididik dan harus mengetahui makna "kato mandaki, kato manurun, kato malereang dan kato mandata" (kata mendaki, kata menurun, kata melereng dan kata mendatar).

Itu disampaikan dalam bahasa-bahasa kiasan yang tajam dan indah serta mampu meresap kedalam jiwa sehingga melahirkan sebuah karakter yang arif dan bijaksana.

Pertanyaannya, dalam konteks kekinian adakah Bahasa Minang itu masih berpengaruh dalam membentuk kepribadian keminangan seseorang di ranah dan tanah beradat ini? Adakah bahasa Minang masih menjadi tuan di rumah sendiri?

Jawabannya tentu bisa "ya" dan bisa "tidak". Jawaban "ya" bagi rang (orang) Minang yang masih memakai bahasa Minang dalam kehidupannya sehari-hari, dan jawaban "tidak" bagi mereka yang sebaliknya. Jika didaki sapatah lai (dilanjutkan): apakah sekarang ada orang Minang yang tidak lagi berbahasa Minang?

Maka, di sinilah kiranya pijakan dasar kenapa artikel ini saya buat dan muncul dengan judul "Bahasa Menunjukkan Bangsa: Mempertanyakan Keminangan Orang Minang".

Kasus pertama berdasarkan pengamatan dan pengalaman, belakangan ini ada sebuah "tren berbahasa Indonesia" dalam keluarga Minang yang berdomisili di ranah Minangkabau ini. Diperkirakan tren ini bermula sekitar petengahan tahun 80-an.

Penyebabnya belum diketahui secara pasti karena belum ada ditemukan sebuah penelitian ilmiah tentang ini. Tapi yang jelas dan terasa, gejala ini bermula dari sebuah gengsi ikut-ikutan, entah siapa yang memulainya sehingga ibu bapa Minang dalam pergaulan merasa (seolah-olah) dianggap lebih modern apabila berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan anak-anak mereka, sepertinya ada gengsi di sana.

Alhasil, hari ini muncul lah sebuah generasi baru Rang-Minang di Ranah-Minang yang tidak lagi berbahasa Minang tetapi berbahasa Indonesia. Fenomena ini melahirkan sebuah komunitas anak muda Minang yang dalam kesehariannya berbahasa Indonesia namun kedengaran aneh di telinga, mereka berbahasa Indonesia dengan aksen/gaya kampung asal masing-masing, ada gaya "Kik Tinggi", "Pikumbuah", "Piaman", "Solok" dan lain-lainnya, dengan kosa kata gado-gado (campuran Indonesia-Minang) semisal: ndak ada lai do.., katanya.

Terkadang saya jengkel menyaksikan perkembangan ini, namun jauh di lubuk hati yang paling dalam saya sedih melihat anak-anak Minang yang mulai tercabut dari akar budayanya, dicabut sendiri oleh kebodohan dan ketidak-tahuan para orang tuanya hanya untuk sebuah gengsi atau ikut-ikutan yang entah untuk apa. Akibatnya, mereka ini sudah jelas akan sulit mencerna khasanah kearifan lokal (local wisdom) peninggalan nenek moyang yang sangat berharga sebagai sarana membangun karakter keminangannya.

Ini tentunya juga sebuah kerugian besar, karena kita sudah melahirkan sebuah generasi omba-omba yang tidak lagi berakar kuat pada budayanya sendiri.

Kasus kedua terjadi pada orang-orang Minang perantauan di level menengah ke atas, kelompok ini kebanyakannya kalau bertemu sesama Minang pun lebih suka berbahasa Indonesia, apa lagi beliau-beliau yang berdomisili dan sedang "mamacik" (posisi berpengaruh) di pusat itu.

Dengan anak-anak keturunannya apa lagi sama sekali sudah hilang bahasa ibunda, pada hal sebelumnya mereka berdua itu adalah "kampung boy & girl" bahkan ada yang berasal dari sebuah dusun kecil terpencil nun jauh di pelosok negeri, tapi kemudian berubah oleh tren kehidupan Jakarta.

Disinyalir dewasa ini perilaku orang Minang di sana jangankan untuk berbahasa Minang, bahkan ada di antara mereka berketurunan Minang yang kini malu mengaku sebagai orang Minang.

"Gua sih, kalau bokap ama nyokap emang aslinya dari Padang, tapi gua kan udah lahir dan gede di Jakarta, jadi gua merasa udah jadi orang Jakarta. Ke Padang pernah sih, udah lama sekali waktu kecil-kecil dulu, gua juga sama sekali gak tau bahasa Minang, kagak ngerti!"

Demikian kira-kira penggalan kalimat anak-anak Minang Jakarta yang dari tampilannya mungkin sama sekali sudah tercabut dari akar budayanya (lost identity), dan penggalan kalimat itu disampaikan dalam usaha menghindar daripada dicap sebagai orang Minang. Ada apa sebetulnya dengan etnis Minang disana hingga sampai sedemikian rupa?

Secara teoritis kebanyakan anak-anak yang lahir di perantauan secara perlahan namun pasti memang akan tercabut dari akar budayanya. Kecuali bagi bangsa atau etnis-etnis tertentu yang cerdas dan berpandangan jauh bahwa sebuah identitas itu amat penting untuk kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Saya bukan orang yang anti-Bahasa Indonesia, saya mencintai bahasa nasional saya sebagaimana saya mencintai bangsa dan negara saya Indonesia. Tapi jika bicara etnis dalam konteks kemajemukan Indonesia, seseorang harus mampu menampilkan dan menempatkan diri sesuai jati dirinya, termasuk tentunya dalam hal berbahasa.

Kondisi si Minang ini mungkin berbeda jika dibandingkan dengan etnis lain seperti Jawa misalnya. Orang Jawa saya perhatikan kalau ketemu sesama Jawa biasanya berbahasa Jawa, hal yang sama juga terjadi pada etnis Batak. Apakah ini menandakan saudara-saudara kita itu berasal dari sebuah budaya dan peradaban yang kuat?

Kasus Melayu

Keadaaan Minang sekarang sepertinya mirip dengan orang Melayu di Malaysia atau di Singapura. Di sana bangsa China ketemu China akan berbahasa China, demikian juga orang India ketemu India akan berbahasa India, tapi kalau Melayu ketemu Malayu akan berbahasa Inggris.

Menurut hemat saya, ada kesan (entah ini dulunya by design oleh pihak-pihak tertentu, kita tidak tahu) seolah-olah berbahasa Melayu itu dianggap kurang maju/kampungan bagi kalangan Melayu, sehingga mereka memandang rendah bahasanya sendiri. Namun, beberapa dekade belakangan ini pemerintah (Melayu) Malaysia dengan berbagai cara berusaha keras untuk menguatkan kembali bahasa Melayu di kalangan orang-orang Melayu.

Saya masih ingat lagi sekitar akhir tahun 80-an dulu, ketika itu Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kini tokoh oposisi) menjabat Menteri Pendidikan. Dia melakukan kampanye "Kembali Berbahasa Melayu Baku" khususnya untuk kalangan orang Melayu, tapi nampaknya tidak berhasil karena ternyata sudah susah untuk mengubah kebiasaan.

Apalagi ada gagasan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi tuan di negeri tanah Melayu sendiri, ini pun nampaknya semakin jauh panggang dari api. Karena, mayoritas para pemimpin Melayu itu sendiri justru dalam keluarga mereka di rumah masing-masing kebanyakan juga berbahasa Inggris, nah gimana?

Kasus ketiga yang kini juga kentara, terjadi dalam proses komunikasi di level pemerintahan tertentu di Sumatera Barat, di ranah Minang ini. Sudah menjadi kelaziman bahkan dalam pertemuan-pertemuan informal sekalipun (khususnya antara bawahan dan atasan) di level itu mereka berbahasa Indonesia.

Akhirnya dengan masyarakat pun terbawa-bawa tetap juga berbahasa Indonesia di mana pun bertemu, kondisi ini justru menimbulkan adanya jarak antara pemimpin dan rakyatnya.

Pengalaman saya sendiri ketika bincang-bincang dengan pimpinan daerah ini bahkan ada personel yang menjabat sebagai menteri, keduanya merupakan Niniak Mamak atau Pangulu bergelar "Datuak" (kepala suku) dalam persukuannya masing-masing. Tapi ketika ngobrol walaupun berdua saja, payah kita berbahasa Minang tapi beliau tintiang (tetap) juga berbahasa Indonesia-ria. Bagi saya ini sesuatu yang membuat "risih" dan menggelikan hati. Nun jauh di dalam lubuk hati ada kesedihan "parah ini orang", berpendidikan tinggi tapi berusaha mengisolasi diri keluar dari budayanya.

Kalau sedang berpidato atau dalam pertemuan formal boleh lah, itu bisa dimaklumi, ini kan ngobrol biasa berdua saja. Ternyata bukan saya saja yang mengalaminya, sampai-sampai salah seorang pejabat tinggi negara tetangga berketurunan Minang pernah bertanya, apo nan tajadi kapado urang awak kini ko mangko anggan bana baliau-baliau ko babahaso Minang kutiko batamu awak samo awak?

Di kampuang pun kini namo anak-anak urang Minang lah ganjie-ganjie tadanga di talingo, dima lataknyo "Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah" (ABS-SBK) kalau namo rang Minang pun ndak bernuansa Islami lai. Alah kebarat-baratan se sadonyo, nampaknyo alah tajua galeh kito mah! (Artinya: apa sebenarnya yang terjadi pada orang Minang sekarang kenapa beliau-beliau ini sepertinya enggan sekali berbahasa Minang bila ketemu sesama Minang? Di kampung di Minangkabau sana pun sekarang nama-nama anak orang Minang sudah aneh-aneh kedengarannya, di mana posisi ABS-SBK kalau nama orang Minang pun tidak lagi bernuansa Islami? Sudah kebarat-baratan semua, sepertinya budaya kita sudah tergadai), katanya suatu ketika dengan senyum penuh makna.

Kira-kira demikianlah kondisi orang Minang sekarang. Saya sendiri selama ini melihat perkembangan ini, merasa seperti "si bisu barasian, takana lai takecek an tido" (orang bisu lagi mimpi, ada teringat tapi tidak mampu menjelaskan), tidak tahu kepada siapa akan dikadukan permasalahan ini.

Mudah-mudahan artikel sederhana ini bisa menggungah hati orang-orang tertentu yang mempunyai kesadaran dan bisa membuat sebuah gerakan moral ke arah perbaikan. Kita perlu memikirkan sebuah langkah besar dengan sebuah komitmen demi sebuah perjuangan menyelamatkan masa depan sebuah generasi.

Intinya, bagaimana menimbulkan kesadaran di kalangan orang Minang yang sudah melenceng keluar dari kebiasaan ini untuk kembali ka pangka jalan (ke pangkal jalan), agar kembali mendidik anak-anak sesuai adat budaya orang Minang, nan elok diambiak dan buruak dibuang (yang baik diambil, yang tidak baik ditinggalkan).

Untuk itu seyogianya pemerintah daerah, para wakil rakyat yang terhormat di negeri Minangkabau harus segera bertindak, pribadi-pribadi tertentu yang berpengaruh di mana pun berada termasuk tentunya beliau-beliau yang memanggil dirinya sebagai budayawan Minang harus melakukan sesuatu. Sesungguhnya saya melihat ada bahaya besar kepada eksistensi orang Minang ke depan kalau hal ini tidak segera ditangani. (*)

*)Peminat masalah sosial, tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia.

Email: dirwan2005@hotmail.com