Gejolak CPO Pengaruhi Kredit Bermasalah Perkebunan Sawit Riau

id Gejolak CPO Pengaruhi Kredit Bermasalah Perkebunan Sawit Riau

Gejolak CPO Pengaruhi Kredit Bermasalah Perkebunan Sawit Riau

Kelapa sawit. (Antara)

Pekanbaru, (Antara) - Bank Indonesia menyatakan gejolak harga minyak kelapa sawit mentah global yang mengalami tren penurunan mempengaruhi tingkat risiko kredit subsektor perkebunan kelapa sawit di Riau hingga triwulan III-2014. "Non performing loan (NPL) pada subsektor kelapa sawit mengambil porsi sebesar 14 persen dari keseluruhan total NPL di Provinsi Riau," kata Pemimpin BI Perwakilan Riau Mahdi Muhammad, di Pekanbaru, Kamis. Berdasarkan data kajian regional BI, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan III-2014 mencapai Rp50,98 triliun. Dari jumlah tersebu, tingkat NPL bank umum periode pelaporan sebenarnya relatif stabil jika dibandingkan dengan posisi periode sebelumnya, yaitu dari 3,54 persen menjadi 3,57 persen. Menurut dia, stabilnya NPL kredit bank umum menunjukkan relatif stabilnya tingkat risiko yang dialami bank umum di Riau dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Namun, BI Riau menyoroti besarnya NPL pada subsektor perkebunan sawit karena pesatnya perkembangan komoditas sawit dalam beberapa tahun terakhir telah menarik dunia perbankan di daerah itu untuk memperluas portofolio kredit mereka dengan memberikan pinjaman kepada para pelaku dunia usaha perkebunan sawit yang memiliki modal terbatas. Sektor perkebunan kelapa sawit mengambil porsi sekitar 19 persen dari total kredit yang diberikan di Riau pada September 2014. Kredit yang diberikan kepada subsektor perkebunan kelapa sawit mencapai Rp9,91 triliun dari total Rp50,98 triliun kredit yang diberikan bank umum di Riau. "Besarnya porsi kredit yang diberikan kepada sektor perkebunan kelapa sawit dan kenaikan NPL dari sektor ini akan mengancam stabilitas keuangan," katanya. Ia mengatkaan, ketidakmampuan para pekebun kelapa sawit untuk mengembalikan pinjaman mereka diperkirakan karena rendahnya harga CPO yang kemudian menyebabkan rendahnya harga beli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang dijual pekebun. "Kredit macet yang cukup tinggi di sektor perkebunan kelapa sawit berpotensi menyulitkan likuiditas pihak bank jika tidak segera diselesaikan. Besarnya kredit yang diberikan dan turunnya harga CPO mempengaruhi tingkat NPL pada kredit subsektor kelapa sawit," katanya. Ia menjelaskan, saat harga CPO dunia berada di posisi yang cukup baik pada awal tahun 2011 hingga pertengahan 2012, tingkat NPL kredit subsektor perkebunan kelapa sawit tercatat di tingkat yang cukup rendah. Sementara saat harga CPO tercatat cukup rendah pada awal 2013, NPL kredit subsektor kelapa sawit mengalami kenaikan. "NPL pada kredit di subsektor perkebunan kelapa sawit dapat memicu inefisiensi pada sektor perbankan. Tingginya tingkat NPL akan menggerus laba bank karena bank harus menambah PPAP mereka," ujarnya. Selain itu, ia mengatakan tingginya NPL akan memicu keengganan perbankan untuk memberikan kredit dikarenakan kekhawatiran akan gagal bayar yang terjadi. Dengan begitu, hal tersebut akan menggangu pertumbuhan perekonomian yang didukung kredit perbankan sebagai salah satu sumber modal. "Uji korelasi sederhana memperlihatkan hubungan negative sebesar 0,74 persen antara harga CPO dan tingkat NPL subsektor kelapa sawit," ujarnya. Karena itu, BI Riau berharap potensi risiko yang muncul dari gejolak harga CPO terhadap pekebun kelapa sawit di Riau segera mendapat perhatian dari pemerintah daerah, dan pihak-pihak yang berada di lingkungan bisnis kelapa sawit seperti pihak perbankan dan kelembagaan pekebun. Kegagalan subsektor kelapa sawit dalam memenuhi kewajiban kepada perbankan akan berimbas kepada sektor lain di sekitarnya. "Kesulitan likuiditas perbankan dapat memicu ketidakstabilan sistem keuangan di Riau. Belum lagi dana perbankan yang tertahan akibat macetnya kredit di subsektor perkebunan kelapa sawit menjadi tidak produktif," ujar Mahdi. (*/jno)