Komnas Kuatkan Gugatan Batas Usia Menikah Anak

id Komnas Kuatkan Gugatan Batas Usia Menikah Anak

Jakarta, (Antara) - Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menuntut negara untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, terkait dengan perkawinan anak. "Kami berharap ada batasan usia minimum yang jelas tentang seorang perempuan boleh melakukan perkawinan," kata Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, usai sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (16/10). Terkait dengan hal ini, pihak Komnas Perempuan kemudian kembali menjadi saksi ahli dalam gugatan batas usia menikah anak dengan meminta pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Adapun bunyi dari norma tersebut adalah, "(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun; (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita." Yuniyanti menjelaskan bahwa ketentuan tersebut telah menimbulkan banyaknya praktik perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh berkembang, serta mendapat pendidikan. "Hilangnya hak pendidikan, hak ekonomi, hak sosial politik, serta yang utama adalah rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan," ucap Yuniyanti. Pemohon dalam gugatan ini juga menganggap bahwa batas usia anak khususnya anak perempuan dalam UU Perkawinan memililki kontradiksi dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang ada di Indonesia. Kontradiksi mengenai batas usia anak ini kemudian dianggap Pemohon telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia. Yuniyanti mengatakan bahwa yang menjadi landasan hukum sebenarnya dan dibenarkan bahwa perkawinan anak terjadi bila usia mereka di bawah 18 tahun, sementara Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan perkawinan diperbolehkan dengan usia minimum pihak perempuan mencapai 16 tahun. "Yang sangat substantif dalam logika perempuan adalah ketika seorang perempuan di bawah 16 tahun melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa itu dianggap pencabulan, tapi ketika itu terjadi dalam pernikahan maka bukan pencabulan. Maka perkawinan itu melahirkan tindak kekerasan," tegas Yuniyanti. Lebih lanjut Pemohon juga menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkwainan yang mengatur batas usia perkawinan anak perempuan, telah secara jelas melahirkan adanya tindakan diskriminatif dalam perlakuan anak laki-laki dan perempuan, sehingga tidak terpenuhi hak-hak konstitusional bagi anak perempuan. (*/sun)