OJK: Perlu Pergeseran Microfinance Ke Financial Inclusion

id OJK: Perlu Pergeseran Microfinance Ke Financial Inclusion

Jakarta, (Antara) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perlu adanya pergeseran paradigma dalam pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yakni dari microfinance menuju ke financial inclusion atau keuangan inklusif. "Sudah waktunya kita bangun paradigma baru dalam pengembangan UMKM di Indonesia," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad dalam suatu seminar di Jakarta, Rabu. Indonesia sebagai salah satu perekonomian terbesar di Asia dan dunia dengan jumlah penduduk dan kondisi geografis yang tersebar memberikan tantangan yang tidak kecil bagi institusi keuangan bank dan non bank. Pelaku usaha mikro kecil yang mencakup sekitar 99 persen dari pelaku usaha yang ada di Indonesia belum seluruhnya mendapatkan layanan keuangan. Perluasan akses layanan keuangan bagi masyarakat miskin dan usaha mikro kecil telah menjadi perhatian pemerintah dan OJK sebagaimana tercantum dalam strategi nasional keuangan inklusif. Muliaman menekankan pentingnya program yang dirancang dan terkoordinasi dengan baik, karena sistem keuangan inklusif tidak hanya berbicara bagaimana menyediakan kredit bagi masyarakat miskin dan usaha mikro kecil namun memiliki tujuan yang lebih holistik yaitu mengurangi angka kemiskinan. Selain itu melakukan distribusi pendapatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan sustainable tanpa mengorbankan dan bahkan menopang stabilitas sistem keuangan. "Saya kira paradigma ini (financial inclusion) perlu mendapat perhatian, sehingga microfinance tidak hanya sekedar membuka akses kepada UMKM tapi juga pemberdayaan masyarakat agar lebih sejahtera," ujar Muliaman. Muliaman mengatakan bahwa pergeseran paradigma tersebut tentunya akan menimbulkan peluang dan tantangan, seperti produk/jasa keuangan yang lebih beragam. Cakupan tidak lagi terbatas hanya kredit mikro, tetapi juga produk-produk keuangan lainnya, termasuk tabungan, asuransi, dan sistem pembayaran. OJK sedang menyiapkan program tabungan melalui "branchless banking" dan mendorong program asuransi mikro. Tantangan berikutnya yakni platform baru. Besar peluang untuk menggunakan teknologi digital dan telekomunikasi untuk mencapai masyarakat yang belum terjangkau. Selain itu, tantangan berikutnya yakni terciptanya pasar baru, di mana inisiatif ini tidak hanya untuk masyarakat miskin tetapi juga untuk masyarakat yang tergolong unbanked pada semua tingkat pendapatan. Tantangan lainnya yaitu melibatkan pihak atau penyedia jasa baru. Pihak-pihak yang terlibat tidak hanya bank atau Lembaga Keuangan Mikro, tetapi juga bisa melibatkan pemerintah melalui program pro-rakyat miskin dan perusahaan telekomunikasi. Pergeseran paradigma juga menjadi tantangan baru untuk regulator dan bagaimana regulator dapat mengeluarkan kebijakan serta peraturan untuk mendorong financial inclusion yang berimbang antara aspek sosial dan aspek komersial dengan tetap tidak mengorbankan aspek kehati-hatian. "Bagi regulator, bagaimana regulasi yang optimal sehingga bisa memberikan lingkungan yang kondusif bagi UMKM. Dalam beberapa dekade ke depan microfinance harus berubah, dari sekedar microfinance ke financial inclusion. Tujuan akhir membuka akses kepada UMKM adalah mensejahterakan, bukan hanya sekedar memberikan kredit mikro," kata Muliaman.(*/sun)